بسم الله الرحمن الرحيم
Mengurai sedikit tentang Hadis Maudhu’
Dipandang dari sudut etimologi kata maudhu’ adalah isim maf’ul dari وضع- يضع وضعا, wada’a syaiin yang berarti menaruh, meletakkan atau menurunkannya.
Adapun secara terminologis, Hadis Maudhu’ adalah:
Pertama:المختلق المصنوع المكذوب على رسول صلى الله عليه وسلم عمد yaitu: Hadis yang dibuat-buat atau ciptakan yang didustakan atas nama rosul secara sengaja.
Kedua: مانسب الى رسول صلى الله عليه وسلم اختلفا وكذبا مما لم يقبله او يقبله او يقره artinya: Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah s.a.w secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, melakukan atau menetapkannya.
Ketiga: الخبر المختلف المكذوب المنسوب الى رسول صلى الله عليه وسلم افتراء عليه أو الى الصحابي أو الى التابعين artinya: berita yang dibuat-buat yangdisandarkan kepada Rasulullah s.a.w dengan (sengaja) berdusta atas namanya, atau atas nama sahabat, dan tabi’in.
اعلم أن الحديث الموضوع شر الأحاديث الضعيفة، ولا تحل روايته لأحد علم حاله في أي معنى كان، إلا مقروناً ببيان وضعه
Apa saja yang disandarkan kepada rasulullah baik itu bersifat positif, seperti untuk keperluan fadhailul a’mal, dakwah maupun yang bersifat destruktif misalnya untuk kepentingan kelompok, madzhab, untuk melestarikan hegemoni, jika itu adalah Hadis maudhu’ maka tidak boleh meriwayatkannya kecuali dengan menyebutkan bahwa Hadis tersebut adalah maudhu’.
Imam Muhammad bin Sirin (33-110 H) menuturkan, “Pada mulanya umat Islam apabila mendengar sabda nabi Muhammad SAW, berdirilah bulu roma mereka. Namun, setelah terjadinya fitnah (terbunuhnya Usman bin Affan), apabila mendengar Hadis mereka selalu bertanya dari manakah hadis itu diperoleh? Apabila hadis itu berasal dari ahli sunnah maka Hadis tersebut bisa diterima dan dapat dijadikan sebagai dalil dalam Islam. Namun apabila Hadis tersebut berasal dari ahli bid’ah maka hadis tersebut ditolak”.
Ungkapan Muhamad bin Sirin di atas memberikan sinyalemen bahwa sejak terbunuhnya Usman bin Affan pada tahun 36 H sudah terjadi pemalsuan Hadis yang dilakukan oleh orang-orang ahli bid’ah (orang yang tidak mengikuti tradisi Nabi dan para Sahabat). Lebih-lebih semenjak terbunuhnya al-Husein bin Ali dalam tragedi Karbala pada tahun 61 H, menyusul timbulnya kelompok-kelompok politik dalam Islam, pemalsuan Hadis pun kian menjadi-jadi. Karena untuk memperoleh legitimasi, setiap kelompok memerlukan pendukung yang kuat yakni berupa Hadis-hadis. Namun, apabila mereka tidak menemukannya, mereka berani mengatakan bahwa Nabi s.a.w bersabda demikian dan demikian, padahal Nabi s.a.w sendiri tidak pernah mengatakannya.
Beberapa motifasi Pemalsuan Hadis:
1. Faktor Politik.
Politik merupakan trigger (pemantik) munculnya Hadis-hadis palsu dan motif ini merupakan motif tertua diantara motifasi-motifasi pemalsuan hadis. Seperti hadis yang mengultuskan Ali bin Abi Thalib yang berbunyi “Ali bin Abi Thalib adalah manusia terbaik, barangsiapa yang meragukannya berarti ia telah kafir”.
2. Pendekatan kepada Allah.
Hadis-hadis palsu sering kita jumpai dalam kitab-kitab yang menerengkan fadhailul a’mal, seperti kitab Durrotun Nasihin. bahkan oknum-oknum yang terlibat adalah orang tasawuf seperti Maisarah bin ‘Abdurabbih. Ketika ditanya oleh Ibnu Mahdi kenapa ia menyebarkan Hadis-hadis palsu, Maisarah menjawab, “Saya sengaja membikin hadis-hadis itu agar orang-orang mau beramal salih”.
3. Pembusukan Agama.
an oleh musuh-musuh Islam, karena mereka ingin menghancurkan Islam melalui berbagai cara. Contoh hadis yang dipalsukan ialah “Saya adalah Nabi terakhir. Tidak ada Nabi sesudah aku, kecuali apabila Allah menghendaki”.
4. Menjilat Penguasa.
Hal ini sering dilakuk Untuk memperoleh simpati dari penguasa atau raja tidak jarang orang sering memalsukan Hadis Nabi. Apabila ia seorang ulama’ yang mempunyai kapabilitas keilmuwan, maka ia disebut ulama’ su’ (ulama’ yang tidak terpuji). Seperti yang dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim an-Nakha’i, ketika menghadap khalifah al-Mahdi bin Mansur dan beliau sedang bermain burung merpati, Ghiyats kemudian menuturkan sebuah hadis yang berbunyi “ perlombaan itu hanya dianjurkan dalam panah, binatang berkuku dua, berkuku satu, dan yang bersayap”. Kata-kata “dan yang bersayap” adalah tambahan dari Ghiyats sendiri.
5. Mencari Rizki.
Demi mendapatkan sesuap nasi orang berani berbuat apa saja, termasuk memalsukan hadis. Hal ini sering dilakukan oleh para pengemis dan para pendongeng.
6. Mencari Popularitas.
Untuk memperoleh popularitas terkadang ada juga orang yang membuat hadis palsu. Karena para ahli hadis tidak mengenal hadis itu, maka di mata orang awam pemalsu hadis itu terlihat lebih ahli dalam bidang hadis dibanding ahli-ahli hadis yang lain. Dan kemudian ia menjadi termasyhur.
Cara Memalsu Hadis
Ada dua cara dalam memalsukan hadis. Pertama, pemalsu membuat redaksi (matan) dari dirinya sendiri, kemudian membuat sanad (transmisi) yang bersambung kepada Nabi s.a.w. Kedua, pemalsu mengambil kata-kata dari para ulama, kemudian dibuatkan sanadnya.
Cara Mendeteksi Hadis Palsu
Ada beberapa cara untuk mengetahui kwalitas hadis bahwa hadis itu palsu.
1. Pengakuan Pemalsu.
Dari pengakuan para pemalsu hadis kita dapat dapat mengenalinya. Terkadang memang para pemalsu hadis mengakuinya sendiri. Seperti pengaukuan Abu ‘Ishmah Nuh bin Abu maryam al-Marwazi, ia mengakui telah membuat hadis-hadis palsu berkenaan keutamaan membaca sura-surah al-Qur’an. Ia menyebutkan bahwa hadis-hadis tersebut diterima dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Sementara murid-murid Ikrimah yang lain tidak menerima hadis-hadis tersebut.
2. Semi Pengakuan.
Ada periwayat hadis yang terkadang tidak mengakui bahwa ia telah meriwayatkan hadis-hadis palsu. Akan tetapi ketika ditanya terdapat kejanggalan-kejanggalan dalam jawabannya atau ia tidak dapat memberikan jawaban yang lugas dan tepat. Misalnya ia tidak pernah bertemu langsung dengan gurunya, sementara Hadis yang ia sampaikan hanya berasal dari gurunya itu.
3. Subyektifitas Rawi.
Dalam hal ini rawi terkesan mengultuskan atau fanatik dengan suatu tokoh atau madzhab tertentu. Seperti hadis-hadis yang berkaitan tentang pengkultusan sahabat Ali bin Abi Thalib, maka besar kemungkinan hadis tersebut palsu karena faktor subyektifitas rawi.
4. Kejanggalan dalam redaksi hadis.
Apabila redaksi hadis tersebut bertentangan secara tegas dengan al-qur’an, di mana tidak ada celah untuk dilakukan kompromi (metode jama’) maka besar kemungkinan hadis itu palsu. Namun, untuk mengklaim hadis yang kontroversial dengan Qur’an itu hadis palsu, itu tidak mudah.
5. Jika di dalam transmisinya terdapat rawi yang pendusta, maka para ahli hadis menetapkan hadis itu palsu. Sementara apabila rawinya hanya diduga sebagai pendusta, maka hadisnya hanya dinilai matruk.
Kitab-kitab yang memuat Hadis-hadis palsu
Dalam program Maktabah syamilah terdapat banyak sekali kitab-kitab yang di dalamnya merangkum Hadis-hadis palsu. Seperti, buah karya Ibnu al-Jauzi yakni Al-maudhu’at. Ini adalah kitab pertama yang mengulas dan mengumpulkan Hadis-hadis maudhu’.serta Al-Laaali al-Masnu'ah fi al-Ahadis al-Maudu'ah karya as-Suyuthi dan Tanzihu as-Syari'ah al-Marfu'ah an al-Ahadis as-Syari'ah al-Maudu'ah karya Ibnu a-I'raq al-Kanani.