بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah swt. yang telah memberikan ni'mat yang besar terhadap umat Islam dengan diturunkannya al-Qur`an dan menjaganya dihati orang-orang yang telah diberikan amanah untuk menghafalnya dan juga dengan tulisan dalam mushaf. Suatu anugrah yang besar yang mana tidak diberikan kepada umat lain. Begitu juga dengan dijaganya sunnah-sunnah Nabi sehingga sampai kepada kita walaupun terpaut selama 14 abad lebih. Tentu saja kita mengetahui terjaganya sunnah-sunnah Nabi tidaklah seperti terjaga al-Qur`an. Hal ini dikarenakan konsentrasi sahabat dan ulama'-ulama' dahulu lebih terfokus kepada al-Qur`an, bahkan dalam riwayat yang masyhur, Nabi melarang penulisan sunnah demi menjaga al-Qur`an, dengan tidak menafikan riwayat lain yang memperbolehkan. Namun demi menjaga kemurnian agama ajaran Islam dari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, maka peran para ulama dalam menjaga keotentikannya sangatlah mulia dalam usaha menjaga sunnah-sunah tersebut.
Mengklasifikasikan perawi Hadis berdasarkan tempat tinggal adalah salah satu profesi para ahli Hadis dalam meneliti tempat tinggal di mana para perawi menerima dan meriwayatkan Hadis, maka ilmu ini tidak dapat dikiaskan dan hanya kita hanya dapat merujuk kedalam kitab-kitab yang sudah ditulis oleh ulama-ulama kita terdahulu.
Authan adalah jamak dari kata wathan; dalam kamus al-Mu’jam al-Wasît dikatakan مكان إقامة الإنسان ومقره وإليه انتماؤه ولد به : yaitu daerah atau kawasan tempat manusia dilahirkan, berkembang biak, dan bermukim di dalamnya. Sedangkan buldan adalah jamak dari kata balad dalam kamus al-Munawwir diartikan dengan daerah, negeri, desa, kampung yaitu tempat manusia dilahirkan dan bermukim di dalamnya.
Maksud dari pembahasan ini adalah untuk mengetahui bagaimana penisbatan daerah atau kota para perawi dilahirkan dan bertempat tinggal di dalamnya.
Adat atau kebiasaan orang-orang arab sebelum Islam atau biasa disebut “zaman jahiliah” adalah mereka menisbatkan dirinya atau namanya kepada nama kabilahnya, atau kepada keluarganya seperti bani israil yang dinisbatkan kepada cucunya, karena sebagian besar mereka adalah orang yang tidak bertempat tinggal tetap (nomaden) atau badui karena jalinan mereka terhadap kabilahnya lebih kuat dibanding dengan jalinan mereka terhadap tempat tinggalnya. Namun tatkala datang agama Islam di tanah suci itu dan banyak mempengaruhi budaya Arab pada waktu itu, mayoritas mereka menghapus penisbatan kepada kabilahnya dan sebagian besar mereka lalu tinggal tetap menjadi penduduk di berbagai negeri maupun desa. Lain dengan orang-orang ajam (diluar orang arab red) yang dari dulu mereka menisbatkan kepada negerinya atau desanya masing-masing .
Lalu bagaimana menisbatkan orang yang pindah dari negerinya? orang yang berpindah tempat ke tempat yang lain maka ia bisa menisbatkan kepada dua tempat tersebut dimulai dengan negeri pertama kemudian barulah menisbatkan kepada tempat dimana ia pindah dan tinggal disana, ini untuk menunjukan urutan tempat tinggal para perawi. Seperti seseorang yang awalnya tinggal di Mesir kemudian pindah ke Damaskus maka penisbatannya al-Misri kemudian ad-Dimaski dalam bahasa arab: المصري والدمشقي.
Alangkah baiknya di antara keduanya disisipkan hurup tsumma (kemudian) seperti jika dilahirkan di kota Halab kemudian tinggal di kota Madinah al-Munawwarah, dikatakan: ‘Fulanun al-Halabi tsumma al-Madani’. Inilah yang digunakan oleh banyak orang.
Kemudian bagaimana penisbatan bagi orang yang berpindah tempat dari satu desa ke kota?
1. hendaknya ia menisbatkan kepada desanya,
2. atau menisbatkannya ke kotanya dimana desanya itu manjadi satelit kota tersebut
3. atau bisa saja ia menisbatkan kepada kawasan yang termasuk bagian dari negeri, itu.
Contohnya: jika seseorang berasal dari desa al-Bab, yang mengikuti kota Halab, sementara kota Halab itu bagian dari wilayah (provinsi) Syam, maka terhadapnya dikatakan” ‘Fulanun al-Bab’ atau ‘Fulanun al-Halabi’ atau ‘Fulanun as-Syams’ .
Dari penamaan atau penisbatan tempat tersebut manfaatnya adalah untuk dapat membedakan anatara dua nama perawi yang sama atau serupa pelafalannya jika kedua perawi tersebut berasal dari dua negeri yang berbeda, sebagaimana pemakalah katakan di atas bahwa hal ini sangat dibutuhkan para penghapal dan para pakar Hadis dalam hal penyusunan dan pembuatan sistematika mengenai para perawi dengan menyebutkan nama mereka satu-persatu disertai keterangan penisbatan mereka serta ahwalnya (keadaanya).
Sebagai contoh, Ibnu Shalah meriwayatkan Hadis dalam kitabnya yang mashur yaitu Muqoddimah Ibnu as-Sholah berikut ini:
أخبرني الشيخ ( المسند المعمر أبو حفص عمر بن محمد بن المعمر ) رحمه الله بقراءتي عليه ببغداد قال : أخبرنا أبو بكر محمد بن عبد الباقي بن محمد الأنصاري قال : أخبرنا أبو إسحاق بن عمر بن أحمد البرمكي قال : أخبرنا أبو محمد عبد الله بن إبراهيم بن أيوب بن ماسي قال : حدثنا أبو مسلم إبراهيم بن عبد الله الكجي قال : حدثنا محمد بن ( 246 ) عبد الله الأنصاري قال : حدثنا سليمان التيمي عن أنس قال : قال رسول الله - صلى الله عليه و سلم - : لا هجرة بين المسلمين فوق ثلاثة أيام أو قال : ثلاث ليال
Beliau berkomentar: bahwa Hadis ini bersifat “ali” dengan sanad dan matan yang shahih dari sahabat Anas ra. Ia meriwayatkan Hadis ini kepada orang-orang Basrah, hingga ke Abi Muslim meriwayatkan kepada gurunya di Baghdad.
Imam Nawawi pun meriwayatkan Hadis dalam kitabnya al-Irsyad sebanyak tiga Hadis husus yang seluruh perawinya berasal dari Damaskus dan beliau sendiri menisbatkan dirinya ke Damaskus, kemudian beliau berkata mudah-mudahan Allah menjaga kota-kota Islam dan penduduknya .
Berapa lama seseorang bisa dinisbatkan pada negeri tertentu? Empat tahun. Ini adalah pendapat Abdullah bin al-Mubarak. Di skesempatan ini tidak mungkin kami dapat menyebutkan nama para perawi beserta tempat tinggal dan nisbatnya seluruhnya, maka untuk memperdalam kajian ini, dapat dijadikan rujukan kitab al-Insab karya as-Sam’ani, termasuk kitab pioner dalam cabang ini, beliau menyebutkan nisbatnya kepada bangsa atau yang semacamnya, adapun yang banyak menyebutkan negeri tempat para perawi tinggal adalah kitab at-Thabaqat al-Kubra karya ibnu Sa’ad Ibnu al-Atsir meringkasnya menjadi tiga jilid dan menamakannya al-Lubab dan beliau menambahkan sedikit keterangan, kemudian kitab ini diringkas kembali oleh imam Suyuti dan dinamakan Lubbu al-Lubab. Perlu diketahui bahwa dalam kitab Taisir Ulumil Hadis ataupun kitab Tadrib ar-Rawi, topik ini adalah pembahasan yang sangat sedikit disinggung.
Daftar Bacaan:
Ibrahim Mustafa, Ahmad Azziat dkk, Mujam al-Wasit, Daarel an-Nasr - Daarel an-Nadwah, Tahkik; Majma al-Lughoh al-Arabiah
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progressif 1997
Abu Amr Usman bin Abdurrahman as-Sahruzuri, Muqoddimah Ibnu as-Shalah, Maktabah al-Farobi
Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Sarh Taqrib an-Nawawi, Maktabah Riyad al-Hadisah, Riyad
Mahmud at-Thahan, Taisir Mustalah al-Hadits, Darel-Fikr
Abu Fuad, Ilmu Hadis Praktis(terj), Haramain
Ibnu Syarf an-Nawawi, at-Taqrib wa at-Taisir Lima’rifati Sunanil-Basyar an-Nadzir fi Ushul al-Hadis, Mauqi al-Waraq