--Penggalan Memori 1971-1975 Bersama Prof Dr KH Ali Musthofa Ya'qub (36)
Oleh: Cholidy Ibhar
Yang namanya santri tidak uniformatif, bermacam rupa adanya. Ada yang usil dan gemar godain orang. Suatu ketika, ustadz Ali Muathofa menegur santri yang melontarkan olok olok kepada seseorang. Kemudian dimintanya kepada santri mendekat dan mungucapkan kata maaf kepada seseorang yang menjadi obyek olok olok itu. Mereka patuh dan berbarengan turun dari lantai dua komplek serta mencium tangan dan mengucapkan kata maaf kepada figur "yang disakiti" itu.
Siapa gerangan yang menjadi sasaran keusilan dan olok olok santri itu ? Tak lain, adalah Gus Dur (GD). Tentu, lantaran sebagian santri tak mengenali siapa GD itu. Maklum, meski GD selaku sektetaris pesantren Tebuireng, namun sebagian tak mengenalinya. Terlebih, GD tak bermukim di pesantren Tebuireng. Jadi, pulang pergi alias PP Tebuireng-Denanyar setiap harinya.
Tahu, mengapa GD diusili santri ? GD berpostur subur dan berkulit kuning, sehingga tak ubahnya sosok beretnis Cina. Makanya, jika pagi hari GD memasuki pesantren dengan mengendarai motor khasnya yang produk Italia, vespa Lambretta, plus bertopi ala pelatih Jerman Barat Helmut Schoen. Tanpa dikomando, tanpa ada yang menderigeni. "Tokeh, tokeh, tokeh", teriak santri bak koor. Ini diulang ulang dan berkepanjangan.
Tentulah, ustadz Ali Musthofa yang tahu dari mana datangnya teriakan yang bersautan itu secepat kilat mendekati. Diinterogasinya, diberitahu siapa GD itu dan dimintanya satu persatu turun dan mencium tangan GD. Tak protes dan tak menolak, mereka menyerbu mendatangi GD. Anehnya, justru GD tak menganggap para santri itu bersalah, sehingga satu persatu diusapnya kepala santri satu persatu oleh GD.
Ya, mencium tangan guru. Inilah simbol penghormatan, pemuliaan (yuwaqqir kabirana) dan tatakrama. Ini adab, akhlak dan fatsun murid kepada guru, santri kepada kiai dan yang muda kepada yang lebih tua. Ini tradisi dan kesantunan yang mesti dijaga dan diuri uri. Bagian dari "irsyadu ustadzin", agar peroleh arahan dan keberkahan guru.
Lho, kok digebuk dan dituding feodalisme, melanggar egalitarianisme dan mengusir prinsip humanisme ? Dalam hal apa cium tangan dianggap mengokohkan feodalisme, mengangkangi egalitarianisme dan menebar anti humanisme ?
Namun perbincangan cium tangan murid kepada guru jangan serta merta digulirkan menjadi diskusi di pusyaran syar'i. Meski, Anas ibn Malik pernah menarasikan begitu indahnya ihwal sahabat kala berebut mencium tangan rasulullah. Dan, "laisa minna man lam yarham shaghirana wa lam yuwaqqir kabirana", sabda Nabi.
Tak mengherankan jika ustadz Ali Musthofa penyuka dan sekaligus penganjur mencium tangan guru. "Tak terhitung saya mencium tangan Gus Dur", ujarnya.
Walau jangan pula dibenturkan dengan rasionalisme dan humanisme sebagaimana relasi antar manusia ala Barat. Lha wong itu tradisi, nilai luhur dan bermuatan local wisdom. Kearifan beraroma perenilalisme atau post modernisme. Kendati mengamalkan cium tangan kepada guru itu terasa nikmat dan berbarengan dengan laku itu kesejukan mengaliri psikologi kita.
Fawaid Abdullah, Abdul Wahid Asy'ari, Yusuf Hidayat, Ahmad Fao, Abror Yuriidu Liyanjaha, Aulia Regard, Ahem, Artini Fauzi, Noel Bes, DindaEny's Setya Hidayati, Nofiansaid Dahlan Kakau, Fathima Afandya DuNne, Nur Fadlilah.