HAIDL
Mengingat
permasalah haidl selalu bersentuhan dengan rutinitas ibadah setiap hari, maka
seorang wanita dituntut untuk mengetahui hukuk-hukum permasalahan yang
dialaminya, agar ibadah yang ia lakukan sah dan benar menurut syara’. Untuk
mengetahui hukum tersebut, tidak ada jalan lain kecuali belajar. Adapun hukum
mempelajarinya adalah sebagai berikut:
a.
fardhu ‘ain bagi wanita yang baligh
Artinya,
wajib bagi setiap wanita yang sudah untuk belajar dan mengerti permasalahan
yang berhubungan dengan haidl, nifas dan
istihadlah. Sebab mempelajari hal-hal yang yang menjadi syarat keabsahan dan
batalnya suatu ibadah adalah fardhu ‘ain. Sehingga setiap wanita wajib keluar
dari rumah untuk mempelajari hal tersebut dan bagi suami atau mahram tidak
boleh mencegahnya manakala mereka tidak mampu mengajarinya. Jika mampu, maka
wajib bagi mereka untuk menjelaskan hal tersebut.
b.
fardhu kifayah bagi laki-laki
Mengingat
permasalahn haidl, nifas dan istihadtihah tidak langsung bersentuhan langsung
dengan rutinitas ibadah kaum laki-laki, maka hukum mempelajarinya adalah fardhu
kifayah, sebab mempelajari ilmu-ilmu yang tidak bersentuhan langsung dengan
amaliyah ibadah yang harus dilakukan hukumnya adalah fardhu kifayah hal ini
untuk menegakkan ajaran agama dan keperluan fatwa.
Menurut
syara’ haidl adalah darah yang keluar melalui alat kelamin wanita yang sudah
mencapai usia minimal 9 tahun kurang 15 hari (usia 8 tahun 11 bulan 15 hari)
dan keluar secara alami (tabiat) bukan disebabkan melahirkan atau penyakit pada
rahim.
Ketentuan
darah haidl
Warna
dan sifat darah[1]
tidak menjadi acuan dalam penentuan hukum haidl, sebab pembahasan mengenai
warna dan sifat hanya untuk menentukan darah haidl ketika wanita mengalami istihadlah.
Dengan demikian meskipun warna dan sifat darah berubah-rubah, kalau masih dalam
batasan masa haidl tetap dihukumi haidl.
Darah
yang keluar dihukumi haidl apabila memenuhi empat syarat, yaitu:
1.
Sudah mencapai
usia 9 tahun kurang 15 hari.
2.
Darah yang
keluar minimal satu hari satu malam jika keluar secara terus menerus atau
mencapai jumlah 24 jam jika keluar secara terputus-putus dan tidak melebihi 15
hari.
3.
Tidak lebih dari
15 hari 15 malam jika keluar terus menerus.
4.
Keluar setelah
masa minimal suci, yakni 15 hari 15 malam dari haidl sebelumnya.
Jika
wanita mengeluarkan darah, namun tidak memenuhi persyaratan di atas, maka darah
yang keluar tidak dihukumi haidl tetapi istihadlah.
Paling
sedikit jarak waktu yang memisah antara satu haidl dengan haidl sebelumnya
adalah 15 hari 15 malam. Sehingga tidak menutup kemungkinan dalam satu bulan
wanita mengalami haidl 2 kali. Misalkan pada awal bulan keluar darah selama 2
hari, kemudian berhenti selama 16 hari dan keluar lagi selama 3 hari, maka 3
hari yang akhir ini dihukumi haidl (kedua). Sebab keluar darah setelah melewati
batas minimal suci yang memisah antara dua haidl.
Jika
masa pemisah kurang dari 15 hari, maka perinciannya sbb:
a.
bila darah pertama dan kedua masih dalam rangkaian masa 15 hari terhitung dari
permulaan keluarnya darah pertama, maka semuanya dihukumi haidl termasuk masa
berhenti diantara dua darah tersebut.
contoh: keluar darah selama 3 hari
berhenti
selama 6 hari
keluar
lagi selama 3 hari
maka
keseluruhan hari termasuk masa tidak keluar darah dihukumi haidl sebab semuanya
masih dalam masa maksimal haidl (15 hari).
b.
bila darah kedua diluar rangkaian masa 15 hari dari permulaan haidl pertama,
sementara jumlah pemisah ditambah darah kedua tidak lebih 15 hari, maka darah
kedua dihukumi darah fasad (bukan haidl).
Contoh:
keluar darah 3 hari
Berhenti
selama 12 hari
Keluar
lagi selama 3 hari
Maka
3 hari pertama dihukumi haidl, 12 hari tidak keluar darah dihukumi suci dan 3
hari akhir dihukumi darah istihadlah (bukan haidl).
Sedangkan
bila jumlah masa suci (waktu tidak keluar darah) ditambah darah kedua melebihi
15 hari, maka sebagian darah kedua dihukumi darah istihadlah (untuk
menyempurnakan masa minimal suci) dan sisanya dihukumi haidl yang kedua bila
memenuhi ketentuan haidl.
Contoh:
keluar darah 3 hari
Berhenti
selama 12 hari
Keluar
lagi selama 6 hari
Maka
3 hari pertama dihukumi haidl, 12 hari dihukumi suci dan 3 hari darah kedua
adalah darah kotor dan dihukumi suci, sedangkan 3 hari sisanya dihukumi haidl
yang kedua.
Penentuan
hukum ini apabila masa keluar darah yang kedua, setelah dikurangi untuk
menyempurnakan masa minimal suci, sisanya tidak lebih dari maksimal haidl (15
hari). Jika melebihi masa 15 hari, maka wanita tersebut mengalami istihadlah.
Contoh:
keluar darah 10 hari
Berhenti
selama 10 hari
Keluar
lagi selama 25 hari
Maka
10 hari yang pertama dihukumi haidl. 10 hari saat tidak keluar ditambah 5 hari
saat keluar darah yang kedua dihukumi masa suci. Sedangkan satu hari setelahnya
dihukumi haidl dan sisanya dihukumi darah istihadlah. Hal ini berlaku bagi
wanita yang pertama kali mengeluarkan darah haidl dan tidak bisa membedakan antara
darah yang kuat dan lemah (Mustahadhah Mubtadiah Ghair Mumayyizah).
Namun jika ia pernah haidl (Mu’tadah Ghair Mumayyizah) maka haidl dan
sucinya disesuaikan kebiasaannya.
Misalkan kebiasannya 7 hari, maka 10 hari awal dihukumi haidl, 10 hari masa tidak
keluar darah ditambah 5 hari saat keluar darah yang kedua dihukumi masa suci.
Sedangkan 7 hari setelah itu dihukumi haidl yang kedua (mengikuti kebiasaan)
dan sisanya dihukumi darah istihadlah.
Hal-hal
yang harus dilakukan wanita saat datang dan berhentinya haidl
Saat
darah haidl keluar, wanita wajib menghindari hal-hal yang diharamkan sebab haidl[2].
Bila darah yang keluar telah mencapai batas minimal haidl (24 jam) maka tatkala darah berhenti, ia wajib mandi serta
melaksanakan rutinitas ibadahnya. Bila kemudian darah keluar lagi, maka ia
diwajibkan kembali menghindari hal-hal yang diharamkan bagi wanita haidl. Dan
jika darah berhenti lagi, ia wajib mandi lagi dan demikian seterusnya selama
masih dalam masa 15 hari (maksimal haidl).
Apabila
darah berhenti sebelum mencapai batas minimal haidl maka ia cukup membersihkan
darah yang keluar dan wudhu bila ingin melaksanakan aktifitas ibadahnya. Bila
darah ternyata keluar lagi, maka di tafshil; bila belum juga mencapai
batas minimal haidl, maka ia hanya diperintah seperti di atas namun bila telah
mencapai batas minimal haidl (akumulasi darah yang keluar pertama kali dan
kedua), maka wajib mandi ketika akan melaksanakan rutinitas yang membutuhkan
kesucian.
Darah
dihukumi berhenti seandainya diusap dengan cara memasukkan semisal kapas kedalam
farji, sudah tidak ada cairan yang sesuai dengan sifat dan warna darah
(hanya berupa cairan bening). Namun bila masih ada cairan yang berwarna kuning
atau keruh, terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan masih dihukumi
darah haidl (pendapat yang kuat) karena keluar pada masa imkan haidl.
Ada juga pendapat yang menganggap bukan darah haidl karena cairan itu tidak
berwarna darah.
Berikut
ini hal-hal yang perlu diperhatikan oleh wanita saat mengalami haidl:
v Sunah
untuk tidak memotong kuku, rambut dan lain-lain dari anggota badan, tetapi bila
terlanjur di potong maka yang wajib dibasuh adalah tempat/bekas anggota yang di
potong bukan potongan dari anggota itu.
v Saat
darah berhenti wanita diperbolehkan mulai niat puasa sekalipun belum mandi,
karena haramnya puasa disebabkan haidl bukan hadats berbeda dengan shalat dan
bersetubuh, sebab penghalangnya adalah hadats dan nash.
v Bagi
wanita yang darah haidlnya berhenti dan belum sempat mandi jika ingin tidur,
makan dan minum disunahkan membersihkan farjinya kemudian wudhu.
Meninggalkan hal ini hukumnya makruh.
v Biasanya, menjelang atau di saat haidl wanita
mengalami gangguan kesehatan. Diantaranya:
§ Payudara
mengencang dan terasa sakit
§ Pegal-pegal,
lemah dan lesu
§ Perut
terasa sakit/mulas
§ Mudah
emosi.
Hal-hal
tersebut tidak perlu ditanggapi secara berlebihan, sebab itu hanyalah dampak
dari keluarnya darah.
Shalat
yang harus diqadha sebab datang dan berhentinya haidl (begitu juga nifas)
Bagi wanita yang mengalami haidl ada hal yang
perlu diperhatikan yaitu masalah qadha shalat. Ketika darah haidl keluar
setelah melewati waktu yang cukup digunakan untuk melakukan shalat dan ia belum
melaksanakannya maka nanti setelah selesai haidl ia wajib mengqadha shalat yang
belum sempat dikerjakan saja tidak dengan shalat sebelum dan sesudahnya,
meskipun kedua shalat tersebut bisa dijama’. Adapun masalah berhentinya haidl,
bila masih cukup untuk melaksanakan shalat pada waktunya maka kerjakanlah pada
waktunya, namun bila hanya cukup (minimal) untuk mengucapkan takbiratul
ihram (ucapan Allahu Akbar) maka wajib mengqadha shalat waktu
berhentinya haidl dan juga shalat sebelumnya apabila shalat tersebut bisa
dijama’.
Contoh
1:
Keluar
darah haidl pukul 02.00 siang sementara ia belum melaksanakan shalat dzuhur. 5
hari kemudian, haidl berhenti saat waktu ashar tinggal setengah menit menjelang
maghrib. Maka shalat yang wajib diqadha adalah shalat dzuhur saat datang haidl
(sebab datangnya haidl setelah melewati waktu yang cukup untuk melakukan
shalat). Dan juga shalat ashar serta dzuhur sebelumnya saat berhentinya darah
(karena kedua shalat tersebut bisa dijama’ dan saat berhentinya haidl masih ada
waktu yang cukup digunakan takbiratul ihram).
Contoh
2:
Keluar
darah pukul 09.00 malam, sementara ia belum shalat isya. Tujuh hari kemudian haidlnya
berhenti pada waktu subuh, maka yang harus diqadha adalah shalat isya saat
datangnya haidl saja. Sedangkan shalat subuh saat darah berhenti dilakukan
secara ada’ bila waktunya cukup digunakan bersuci (mandi, wudhu) serta
shalat pada waktunya.
Waallahua'lam
bi al-sawab
Makalah
ini dipresentasikan pada acara diskusi FDLP Rasionalika @ Darus-Sunnah, dikutip dari buku berjudul “Uyun
al-Masail li al-Nisa” yang diterbitkan oleh Lajnah Bahtsul Masail Lirboyo.
[1] Warna darah: 1. hitam 2. merah 3.merah kekuning-kuningan
4. kuning 5. keruh.
Sifat darah: 1. a. kental. b. cair 2. a. berbau
busuk/anyir. b. tidak berbau.
القرأن حجة لنا
Membaca Al-Quran secara rutin tiap hari dengan metode: ”فَمِي بِشَوْقٍ“ Setiap huruf yang tersebut menjadi simbol dari awal surat yang dibaca. Maka: - Huruf “fa`” adalah simbol dari surat “al-fatihah”. - Huruf “mim” maksudnya dimulai dari surah al-maidah. - Huruf “ya`” maksudnya dimulai dari surah Yunus. - Huruf ”ba`” maksudnya dimulai dari surah Bani Israil yang juga dinamakan surah al-isra`. - Huruf “syin” maksudnya dimulai dari surah asy-syu’ara`. - Huruf “waw” maksudnya dimulai dari surah wash shaffat. - Huruf “qaaf” maksudnya dimulai dari surah qaf hingga akhir mushaf yaitu surah an-nas. Channel
murajaah
Literature Review
fikih
(184)
Tasawwuf
(122)
Local Wisdom
(59)
hadis
(51)
Tauhid
(45)
Ilmu Hadis
(28)
Bahasa Arab
(25)
Kebangsaan
(23)
Moderasi Beragama
(22)
Biografi
(20)
Tafsir
(20)
Al Quran
(19)
ilmu tafsir
(2)
Dendam
Total Tayangan Halaman
HEAD
kongko bareng emte
- s.id/mtaufiqh
- belajar sepanjang hayat, santri berbahasa Arab dan Inggris dari Sukabumi Jawa Barat yang meretas dunia tanpa batas