-->

Fatawa Yaumiyyah: Menjaharkan Dzikir Sesudah Shalat Fardhu

بسم الله الرحمن الرحيم
Keutamaan shalat berjamaah di masjid:
Dari Ibnu Umar ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda: shalat berjamah lebih utama daripada shalat sendirian dengan tujuh puluh derajat.Dalam riwayat lain: dengan dua puluh lima derajat. (Muttafaq alaih) HR. Bukhari no (645) (646), Muslim no (650) (649).

                                                                  Hukum Menjadi Imam                      
·                     Menjadi Imam mempunyai keutamaan yang sangat agung, oleh karena pentingnya maka nabi melakukannya sendiri, demikian pula para khulafaurrasyidin sesudah beliau.
·                     Imam mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, jika melaksanakan tugasnya dengan baik, ia mendapat pahala yang sangat besar, dan ia mendapat pahala seperti orang yang shalat bersamanya.
·                     Hukum mengikuti imam: Makmum wajib mengikuti imam dalam seluruh shalatnya, berdasarkan sabda rasulullah saw: ((Imam dijadikan tidak lain untuk diikuti, apabila ia bertakbir, maka bertakbirlah, dan apabila ruku' maka ruku'lah, dan jika mengatakan: sami'allahu liman hamidah, maka katakan: allahumma rabbana lakal hamdu, apabila imam shalat berdiri maka shalatlah berdiri, dan jika shalat duduk, maka shalatlah kalian semua duduk)) muttafaq alaih Shahih Bukhari no (722), Muslim no (417)
·                     Yang paling berhak menjadi imam: Yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling banyak hafal al-Qur'an dan mengerti hukum-hukum shalat, kemudian yang paling mengerti hadits, kemudian yang paling dulu hijrah, kemudian yang paling dahulu masuk islam, kemudian yang paling tua, kemudian diundi, ini apabila tiba waktu shalat dan hendak memilih salah satu imam, namun jika di masjid ada imam tetap, maka ia lebih berhak.
Dari Abu Mas'ud al-Anshari ra berkata: rasulullah bersabda: Yang menjadi imam adalah orang yang paling banyak mengahafal al-Qur'an, apabila dalam hafalam al-Qur'an sama, maka yang paling mengeri hadits, jika dalam masalah hadits sama, maka yang lebih dahulu hijrah, dan jika berhijrahnya sama, m aka yang lebih dulu masuk islam. (HR. Shahih Muslim no (673)

Menjaharkan (adalah mengeraskan bukan berteriak) Dzikir Sesudah Shalat Fardhu

Berdzikir sesudah shalat merupakan sunnah yang sudah diamalkan dan dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Hendaknya kita mengikuti beliau dalam amal ini dan mencontoh bagaimana beliau melaksanakannya.
Dzikir setelah shalat merupakan ibadah yang sangat disunnahkan dan salah satu kebiasaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau juga melakukannya dengan suara keras. Dalam sahih Bukhari dan Muslim disebutkan pada Bab Dzikir setelah shalat, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang usai melaksanakan shalat wajib merupakan kebiasaan yang berlaku pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.” Ibnu Abbas menambahkan, ‘Aku mengetahui mereka selesai shalat dengan itu, apabila aku mendengarnya.
Masih dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:

 كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِير
Aku megetahui selesainya shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan takbir.” (HR. al-Bukhari)
Ketika Rasulullah shalat, Abdullah bin Abbas masih anak-anak. Beliau tidak mengikuti shalat berjamaah, namun berada di depan masjid bermain bersama teman-temannya. Ini berarti Rasulullah saw mengucapkan takbir dengan keras di depan jamaahnya, hingga terdengar keluar masjid.
Hadits-hadits di atas merupakan dalil tentang sunnahnya menjaharkan (mengeraskan) suara dzikir sesudah shalat. Dan ini menjadi bantahan bagi mereka yang mengingkari dan melarangnya.
Ibnu Huzaiman memasukkan hadits di atas daam kitab Shahih-nya, dan memberinya judul, Bab: Raf’u al-Shaut bi al-Takbiir wa al-Dzikr ‘inda Inqidha’ al-Shalah (Bab: meninggikan (mengeraskan) suara takbir dan dzikir ketika selesai shalat (wajib).. hal ini menunjukkan bahwa beliau memahami bolehnya mengeraskan takbir dan dzikir sesudah shalat.
Ibnu Daqiq al-‘Id, juga menyatakan hal yang sama, “Dalam hadits ini, terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat, dan takbir secara khusus termasuk dalam kategori dzikir." (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam)
Imam al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan, bahwa hadits ini adalah dalil bagi pendapat sebagian ulama salaf bahwa disunnahkan mengeraskan suara takbir dan dzikir sesudah shalat wajib. Dan di antara ulama muta’akhirin yang menyunahkannya adalah Ibnu Hazm al-Zahiri.

1.               Fatwa Syaikh Utsaimin rahimahullaah: Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya tentang hukum menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan bagaimana cara pelaksanaannya?
Beliau menjawab:
Bahwa sesungguhnya menjaharkan dzikir sesudah shalat fardhu adalah sunnah. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari hadits Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhu menunjukkan sunnah tersebut, bahwa mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang selesai melaksanakan shalat fardhu telah ada pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau berkata,
كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
Dan aku tahu apabila mereka telah selesai dari shalat dengan itu, (yaitu) apabila aku mendengarnya.” (Hadits ini juga diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadits ini adalah salah satu dari hadits-hadits dalam al-‘Umdah).
Dalam Shahihain, dari hadits al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhu berkata, Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membaca apabila telah selesai shalat:
لَا إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ
Tidak ada tuhan yang hak kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.” Al-hadits. Dia tidak akan mendengar dzikir ini kecuali jika orang yang berdzikir mengeraskannya.
Ibnu Taimiyah, para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan dzikir sesudah shalat berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu 'anhum. Dan mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat disyariatkan baik saat membaca tahlil, tasbih, takbir, ataupun tahmid berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas. Tidak didapatkan keterangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang membedakan antara tahlil dan selainnya. Bahkan di dalam hadits Ibnu Abbas, mereka mengetahui selesainya shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan takbir. Dengan ini terbantahkan pendapat orang bahwa tidak boleh jahar (keras) dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir.
Ibnu Taimiyah, para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan dzikir sesudah shalat berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu 'anhum.  Dan mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat disyariatkan baik saat membaca tahlil, tasbih, takbir, ataupun tahmid berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas.

Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata, “Hal itu ditetapkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dari perbuatan dan taqrirnya. Para sahabat melaksanakan hal itu pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam setelah beliau mengajarkannya kepada mereka. Beliau menyetujui mereka atas hal itu sehingga mereka mengetahuinya dengan pengajaran Rasul shallallahu 'alaihi wasallam kepada mereka. Mereka melaksanakan dan beliau menyetujui mereka di atas perbuatan tersebut setelah mengetahuinya, beliau tidak mencela mereka.”
Adapun alasan mengingkari dzikir jahar dengan firman Allah Ta’ala,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang,” (QS. Al-A’raf: 205). Maka kami jawab: Imam Ibnu katsir rahimahullaah dalam tafsirnya memahami makna jahar (keras) di sini dengan terlalu keras (berteriak-teriak).
Adapun orang yang berkata bahwa menjaharkan bacaan dzikir sesudah shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah salah. Bagaimana sesuatu yang biasa dilaksanakan pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam disebut bid’ah?! (Syaikh Utsaimin)

2.      Fatwa Syaikh Ibnu Bazz
Syaikh Ibnu Bazz pernah ditanya tentang sunnah dzikir sesudah shalat, mana yang sesuai sunnah, mengeraskan dzikir atau melirihkannya?
Beliau menjawab:
Yang sunnah adalah menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan sesudah shalat Jum’at ba’da salam. Hal itu didasarkan hadits dalam Shahihain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa mengeraskan suara dzikir sesudah manusia selesai melaksanakan shalat wajib sudah ada pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui kalau mereka sudah selesai shalat apabila aku mendengarnya.” (Kumpulan pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Ibnu Bazz oleh Muhammad al-Syayi’)

Dalam Jawaban lain, beliau berkata: “Telah disebutkan dalam kitab shahihain, dari riwayatnya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam“. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat aku mendengar (suara dzikir) itu.”
Hadits shahih ini dan hadits-hadits semakna lainnya yang berasal dari hadits Ibnu Zubair, dan Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhuma dan lainnya, semuanya menunjukkan disyariatkannya mengeraskan dzikir ketika orang-orang selesai shalat wajib, yang kira-kira sampai terdengar oleh orang-orang yang berada di pintu-pintu dan di sekitar masjid, sehingga mereka tahu selesainya shalat (jama’ah) dengan (kerasnya suara dzikir) itu. (Tapi) bagi orang yang didekatnya ada orang lain yang sedang menyelesaikan shalatnya, maka sebaiknya ia memelankan sedikit suaranya.

Yang sunnah adalah menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan sesudah shalat Jum’at ba’da salam. (Syaikh Ibnu Bazz)

3.      Syaikh Shalih al-Fauzan
Beliau ditanya tentang menjaharkan doa dan dzikir secara umum, dan sesudah shalat secara khusus? Apakah doa dan dzikir itu dengan keras, lirih, atau di antara keduanya?
Beliau menjawab, “Doa yang dicontohkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan yang disyari’atkan, seseorang diberi pilihan antara menjaharkannya atau melirihkannya. Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (QS. Al-a’raf: 55) Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui yang lirih dan tersembunyi. Engkau boleh berdoa dengan keras dan lirih, kecuali apabila menjaharkannya bisa mengganggu orang disekitarmu; yang tidur, shalat, atau yang sedang membaca Al-Qur’an al-Karim, maka engkau harus melirihkan suaramu. Atau apabila kamu takut tumbuh riya’ dan sum’ah dalam dirimu, maka engkau lirihkan suaramu dalam berdoa, karena hal ini lebih bisa menjadikan ikhlas.
Sedangkan dzikir sesudah shalat, maka yang sunnah adalah menjaharkannya sesuai dengan hadits-hadits shahih . . . (Syaikh  Shalih Fauzan)

4.      Fatwa Lajnah Daimah
Disyariatkan untuk mengeraskan dzikir setelah shalat wajib, karena adanya keterangan yang shahih dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, (ia mengatakan): “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam “. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat ku dengar (suara dzikir) itu”.
(Mengeraskan dzikir setelah shalat wajib tetap disunnahkan), meski ada orang-orang yang masih menyelesaikan shalatnya, baik mereka itu (menyelesaikan shalatnya secara) sendiri-sendiri atau dengan berjama’ah. Dan hal itu (yakni mengeraskan dzikir) disyariatkan pada semua shalat wajib yang lima waktu.

LihatTutupKomentar

القرأن حجة لنا


Membaca Al-Quran secara rutin tiap hari dengan metode: ”فَمِي بِشَوْقٍ“ Setiap huruf yang tersebut menjadi simbol dari awal surat yang dibaca. Maka: - Huruf “fa`” adalah simbol dari surat “al-fatihah”. - Huruf “mim” maksudnya dimulai dari surah al-maidah. - Huruf “ya`” maksudnya dimulai dari surah Yunus. - Huruf ”ba`” maksudnya dimulai dari surah Bani Israil yang juga dinamakan surah al-isra`. - Huruf “syin” maksudnya dimulai dari surah asy-syu’ara`. - Huruf “waw” maksudnya dimulai dari surah wash shaffat. - Huruf “qaaf” maksudnya dimulai dari surah qaf hingga akhir mushaf yaitu surah an-nas. Channel

murajaah

Literature Review

fikih (184) Tasawwuf (122) Local Wisdom (59) hadis (51) Tauhid (45) Ilmu Hadis (28) Bahasa Arab (25) Kebangsaan (23) Moderasi Beragama (22) Biografi (20) Tafsir (20) Al Quran (19) ilmu tafsir (2)

Dendam

Total Tayangan Halaman

HEAD

kongko bareng emte

Foto saya
belajar sepanjang hayat, santri berbahasa Arab dan Inggris dari Sukabumi Jawa Barat yang meretas dunia tanpa batas