Kepalsuan Hadis Larangan Membaca Alquran dengan Irama Selain Arab
Oleh: Arrazy Hasyim
(Dosen Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences Jakarta).
Sejak penampilan tilawah ala Jawa di istana kepresidenan di akhir bulan Rajab beberapa hari lalu, sangat banyak broadcast di Whatapps dan BBM yang menyebutkan ketidaksepakatan
beberapa dai dengan kenyataan tersebut.
Ketidaksukaan tersebut hal yang normal dan biasa, terutama kalangan santri dan orang indonesia yang tidak berasal dari Jawa. Di kalangan santri di pesantren salafiah, pembacaan kitab kuning dengan irama jawa sudah sangat biasa. Namun, pembacaan Alquran
dengan irama jawa hampir tidak pernah
terdengar. Ini dikarenakan pembacaan Alquran pun mempunyai geneologi keguruan yang tidak sedikit. Jangankan dengan irama lokal jawa, bahkan dengan irama nagham yang berasal dari Timur Tengah pun diharamkan sebagian ulama.
Di Kudus Jawa Tengah, banyak pesantren tahfizh Alquran yang mengharamkan irama apa pun dalam membaca Alqur’an.
Terlepas dari itu, Hadis apakah yang sering dibroadcast tersebut? Di salah satu kalimat yang lalu lalang di medsos adalah:
Bacalah alquran dengan lagu dan suara orang
arab. Jauhilah lagu/irama ahlul kitab dan orang-orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku orang membaca alquran deperti menyanyi dan melenguh. Tidak melampaui tenggorokan mereka. hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya. (HR. Tarmidzi) .
Di dalam teks arabnya disebutkan fa-qad rawa al-tirmidzi anna rasulullah shallahu ‘alaihi wa-sallam (Sungguh Imam al-Tirmidzi telah meriwayatkan dari Nabi Saw). Ungkapan ini
merupakan kebohongan terhadap Nabi Saw dan
al-Tirmidzi. Dalam redaksi lain, ada yang
mengirimkan dengan redaksi, hadis riwayat Malik dan Nasa’i. Ini pun kebohongan atas dua imam tersebut. Di dalam tradisi ahli hadis, perilaku menisbatkan suatu hadis kepada ulama yang tsiqah (kredibel) adalah salah satu pemalsuan terhadap terhadap Nabi Saw. Pelakunya disebut
sebagai kadzdzab (pembohong) dan wadhdha’ (pemalsu). Ini sebagaimana dapat ditemukan dari penjelasan Imam al-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal ketika mengomentari para pemalsu hadis.
Apabila demikian, maka pelakunya termasuk ke dalam ancaman hadis, “Siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka bersiaplah tempat duduknya dari api neraka”. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Ini merupakan salah satu
hadis yang mutawatir (diriwayatkan oleh banyak sahabat dan periwayat hadis, sehingga mustahil
terjadi pemalsuan).
Selain itu, Imam Ahmad bin Hanbal juga mencela ahli fiqih yang menggunakan hadis
dha’if sebagai dalil dalam pengharaman atau penghalalan sesuatu. Ia berkata: “Jika kami meriwayatkan dalam masalah halal dan haram, maka kami akan memperketat standar
periwayatan”. Pemakaian hadis lemah
merupakan salah satu aib di kalangan ahli hadis.
Teks Hadis
Adapun teks hadis yang dijadikan pegangan adalah:
ﺍﻗْﺮَﺅُﻭﺍ ﺍﻟﻘُﺮْﺁﻥَ ﺑِﻠُﺤُﻮﻥِ ﺍﻟﻌَﺮَﺏِ ﻭﺃﺻْﻮﺍﺗِﻬﺎ ﻭﺇﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭﻟُﺤُﻮﻥَ
ﺃﻫْﻞِ ﺍﻟﻜِﺘﺎﺑَﻴْﻦِ ﻭﺃﻫْﻞِ ﺍﻟﻔِﺴﻖِ ﻓﺈﻧّﻪُ ﺳَﻴَﺠِﻲﺀُ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﻗَﻮْﻡٌ
ﻳُﺮﺟِّﻌُﻮﻥَ ﺑﺎﻟﻘُﺮْﺁﻥِ ﺗَﺮْﺟِﻴﻊَ ﺍﻟﻐِﻨﺎﺀِ ﻭﺍﻟﺮَّﻫْﺒﺎﻧِﻴَﺔِ ﻭﺍﻟﻨَّﻮْﺡِ ﻻ
ﻳُﺠﺎﻭِﺯُ ﺣَﻨﺎﺟِﺮَﻫُﻢْ ﻣَﻔْﺘُﻮﻧَﺔً ﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢْ ﻭﻗُﻠﻮﺏُ ﻣَﻦْ ﻳُﻌْﺠِﺒُﻬُﻢْ
ﺷَﺄْﻧُﻬُﻢ .
Sumber Hadis
Sumber hadis tersebut tidak akan pernah ditemui di dalam kitab Sunan al-Tirmidzi, Muwaththa’ Malik dan Sunan al-Nasa’i, kecuali jika terjadi kesalahan dalam penerbitan. Mungkin beberapa
pendakwah pernah ditanya mengenai sumber hadis ini, lalu supaya terkesan sebagai “ahli hadis” atau “orang alim” maka lidahnya langsung menjawab “ini hadis riwayat Tarmidzi”. Sikap
tersebut, sejak zaman dahulu memang menjadi salah satu penyebab pemalsuan hadis di kalangan para pendakwah, karena ingin terlihat meyakinkan dan menarik.
Lalu, dimanakah hadis ini dapat
ditemukan? Hadis ini dapat ditemukan dalam riwayat Imam al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath
(no. 7223) dan Imam al-Baihaqi dalam Syu’ab
al-Iman (no. 2649). Imam al-Thabrani meriwayatkan dari Muhammad bin Jaban dari Muhammad bin Mihran dari Baqiyyah bin al-Walid dari Hushain bin Muhammad al-Fazari dari Abu Muhammad (?) dari Hudzaifah. Adapun Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Husain bin Fadhl dari Abdullah bin Ja’far dari Ya’qub bin Sufyan dari Baqiyyah bin al-Walid dengan jalur yang sama.
Permasalahan dalam periwayatan ini terdapat minimal pada dua rawi, pertama Baqiyyah bin al-Walid yang dikenal sebagai periwayat yang lemah. Ini ditambah dengan sikapnya yang suka memanipulasi sanad, sehingga disebut sebagai mudallis . Hadis
mudallis dicurigai ada keterputusan geneologi
periwayatan hadis. Oleh karena itu, Imam Ibn
‘Adi memasukkan Baqiyyah bin al-Walid ke dalam daftar perawi yang lemah di dalam kitab al-Kamil fi al-Dhu’afa . Begitu juga, Imam al-Dzahabi menilai Baqiyyah juga tidak dikuatkan oleh periwayatn lain, sehingga hadisnya tergolong munkar.
Kedua, rawi yang bernama Abu Muhammad. Ia tidak dikenal sama sekali di
kalangan ahli hadis. Apabila seorang rawi tidak dikenal maka ulama hadis biasa menyebutnya dengan majhul. Oleh karena itu, Imam Ibn al-Jauzi menilai hadis ini sangat lemah di dalam kitab al-‘Ilal al-Mutanahiyah. Penjelasan ini diperkuat oleh Imam al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawa’id . Barangkali kepalsuan riwayat ini
bersumber dari Abu Muhammad si majhul .
Kesimpulan
Pertama, Pengharaman tilawah dengan hadis di
atas tidaklah tepat, karena Imam al-Tirmidzi, Malik dan al-Nasa’i tidak pernah
meriwayatkannya dalam kitab-kitab mereka.
Hadis tersebut adalah riwayat al-Thabrani dan
al-Baihaqi dengan sanad yang sangat lemah (dha’if jiddan).
Kedua, sebenarnya kemakruhan atau keharaman membaca dengan irama lokal sudah jelas bagi ahli fiqih dan tajwid Alquran meskipun tidak ada
hadis di atas. Ini dikarenakan irama lokal sering mengakibatkan takalluf (pemaksaan) dan bahayanya lagi jika keluar dari kaidah tajwid. Minimal tilawah tersebut berhukum makruh karena takalluf , dan dapat menjadi haram jika melanggar kaidah tajwid.
Ketiga, pengharaman dan pengharaman sesuatu harus berdasarkan dalil yang sahih.
Wallahu a’lam bi al-shawab.