Tasawwuf adalah bagian yang tak terpisahkan dari Islam. Sebagai disiplin ilmu yang mandiri, tasawwuf mulai dikenal pada masa kekuasaan Abbasiah. Bibit-bibit tasawwuf sendiri sebenarnya sudah ada pada masa nabi. Kemudian muncul ke permukaan dengan wajah ekstrimnya pada masa kejayaan daulah umayyah. Pada masa ini pelaku-pelaku tasawwuf lebih dikenal dengan nama, zahid (orang yang zuhud).
Kemunculan tasawwuf pada masa ini, lebih dipicu oleh kondisi sosial yang semakin cenderung hedon (cinta dunia). Bahkan cenderung mengabaikan pesan-pesan agama yang dibawa nabi. Sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya baru ini, para zahid memilih meninggalkan bergaul dengan masyarakat, memakai pakaian kasar (shuf, woll), dan simbol-simbol lain yang dapat dipakai untuk melawan budaya yang sedang berkembang. Karena budaya baru ini cenderung menguat, maka perlawanan para zahid juga semakin kuat. Sehingga muncul laku zuhud-tasawwuf yang ekstrim.
Di saat yang bersamaan, pada masyarakat Islam telah terjadi akulturasi budaya; antara budaya arab-yunani, arab-persia, dan yunani-persia. Cara pandang filosofis ala yunani mulai dikenal oleh orang Islam-Arab, begitu pula dengan cara pandang mistis ala persia. Pelaku-pelaku zuhud, sebagai bagian dari masyarakat Islam pada waktu itu, secara tidak langsung harus berhadapan dengan budaya baru ini. Sehingga pergulatan antara pandangan benci dunia, cara pandang baru tidak dapat terelakkan. Ada kecenderungan jika cara pandang baru ini tidak ditolak oleh mereka. Justru dijadikan instrumen penguat atas pandangan-pandangan mereka. Pergulatan ini pada akhirnya memunculkan kecenderungan filosofis-mistis dalam berzuhud. Dan pandangan semacam ini (zuhud yang cenderung filosofis-mistis) mencapai titik ekstrim pada tokoh Abu Yazid Al Bistami dan Abu Manshur Al Hallaj.
Pandangan-pandangan mereka yang cukup radikal, memancing para yuris (fukaha) untuk mengambil sikap. Sehingga muncul pertentangan antara para pengikut tasawwuf dan ahli fikih. Ahli fikih memandang pelaku tasawwuf sebagai orang-orang zindik, yang mengaku islam tapi tidak pernah menjalankan syariatnya. Hal ini karena, banyak pelaku tasawwuf yang secara lahir meninggalkan tuntunan-tuntunan syariat. Bahkan ada beberapa amaliah yang dikenal di kalangan ahli tasawwuf, tidak dikenal oelh para ahli fikih. Sehingga seringkali dianggap bid’ah. Keadaan semakin runyam dengan hadirnya orang-orang yang hanya mencari pembenaran atas perilakunya yang tidak sesuai dengan syariat, dan mereka menggunakan pandangan-pandangan ahli tasawwuf. Oleh Al Ghazali, mereka disebut mutashawwif (psedo-sufi, orang yang pura-pura menjadi sufi) dan bukan sufi hakiki.
Sebaliknya, tokoh zuhud-tasawwuf memandang tokoh-tokoh fikih sebagai orang-orang yang hanya memperhatikan legalitas suatu persoalan, namun mengabaikan esensi dan kesejatiannya. Banyak penyelewengan dilakukan untuk mendapatkan hal-hal yang sebenarnya dilarang. Namun karena dianggap sah menurut hukum, maka penyelewengan itu tetap berjalan.
Kondisi ini berlangsung hingga masa Abul Qasim Abdullah ibn Ali ibn Junaid Al Baghdadi. Benturan pendangan ini merisaukan Al Junaid. Mengapa harus dipertentangkan. Bukankah ajaran tasawwuf itu bersumber dari ajaran nabi. Begitu pula dengan fikih. Maka hendaknya kedua cara pandang yang cenderung hakikat-centris dan yang cenderung legalit-centris, dikompromikan. Dalam hal ini, Al Junaid mengatakan,
علمنا هذا مقيد بالكتاب والسنة من لم يقرأ القرآن ويكتب الحديث لا يقتدى به في علمنا هذا
“ilmu (tasawwuf) kami ini dilandasi oleh Al Quran dan As Sunnah, barang siapa tidak membaca Al Quran dan menulis As Sunnah, maka ucapannya tidak dapat diikuti dalam ilmu kami ini”
Frase Ilmuna merujuk pada pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan melalui perjalanan spiritual. Pengetahuan yang kadang sulit dijelaskan oleh nalar manusiawi. Sehingga kadangkala dampak dari ilmu tersebut terbilang aneh bagi orang biasa. Semua merujuk pada tingkat ekstase tertentu pada diri sufi yang tidak dapat dijelaskan secara nalar. Namun hal itu memang benar mereka rasakan. Mereka seperti masuk pada ruang tanpa batas. Pengetahuan tentang yang supra-gaib. Sehingga muncul sikap radikal dan liberal dalam pemikiran tasawwuf. Radikalisme dan liberalisme tasawwuf dapat kita amati dalam fenomena ittihad dan hulul. Keduanya memiliki kesamaan dalam menafikan realitas konkret manusia.
Keliaran pemikiran semacam ini dalam pandangan Al Junaid, tidaklah benar. Baginya, dunia tasawwuf harus tetap berpijak pada realitas konkret manusia. Pencapaian tertinggi dalam dunia tasawwuf hanyalah sampai level mahabbah dan ma’rifah. Dengan demikian eksistensi konkret hamba (ubudiah) tetap terpisah dari eksistensi tuhan (uluhiah). Dari sini muncul perbedaan pendapat mana yang lebih utama, apakah menyatunya ubudiah ke dalam uluhiah, atau mempertahankan eksistensi ubudiah. Di kemudian hari, Syaikh Ataillah As Sakandari menguatkan pendapat kedua. Di mana mengakui kehambaan diri lebih mulia daripada (merasa) menyatukan diri. Dasarnya, dalam Al Quran Allah menyebut nabi Muhammad sebagai hambanya (Al-isra;1).
Dan, menurut Al Junaid, syariat tetaplah penting dalam menuju mahabbah dan ma’rifah. Dari sini, gagasan Al Junaid kemudian sangat kompatibel dengan pemikiran ahli fikih dan hadis. Dan inilah makna ucapan “dilandasi Al Kitab dan As Sunnah”.
Berikutnya, muncul kecenderungan baru dalam bertasawwuf. Yakni kecenderungan yang bersifat praktik-amali. Yang mencapai titik kemapanan di tangan Al Ghazali. Lebih jauh, Al Ghazali bahkan berhasil mengelaborasi hubungan aqidah, tasawwuf, dan fikih. Tokoh ini berhasil memadukan fikih dan ilmu kalam secara lebih proposional. Apa yang dikonsepsikan Al Asy’ari diterima sepenuhnya. Otoritas nash ditegakkan, dan rasionalitas digunakan menjelaskan nash. Al Ghazali juga berpendapat bahwa pencapaian tertinggi yang bisa dilakukan manusia hanyalah level mahabbah dan ma’rifah, sebagaimana dikonsepsikan Al Junaid. Al Ghazali mengalasi bahwa Mahabbah merupakan hasil kumulatif dari keseluruhan jenjang-jenjang sebelumnya. Oleh karena itu, orang yang telah sampai pada peringkat tersebut akan merasakan kelezatan iman dan kenikmatan munajat kepada Allah.
Mengapa hanya sebatas mahabbah dan ma’rifah
Pembatasan ini muncul setelah terjadi proses yang sangat penjang, bahkan hingga mengorbankan seorang yang sangat berpengaruh di masanya. Pertarungan sengit antara pendukung zhahir dan pendukung bathin. Dan kedua konsep tersebut merupakan sintesa paling mungkin yang dapat dicapai, demi kesatuan jamaah.
Karena dalam pandangan kaum zahir, apa yang dijadikan pegangan ahlul batin tidak memiliki landasan yuridis yang kuat. Tentu saja, hal ini karena kaum zahir mengguanakan epistemology yang berbeda dengan yang dipakai ahlul batin. Jika para filosof dan mutakallimin menggunakan epistemology burhani,
Mengapa Hanya Ma’rifat dan Mahabbah?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat menggunakan analisis materialis-historis (madiah-tarikhiah). Di mana pada awalnya yang pertama kali muncul adalah apa yang selama ini diistilahkan dengan tasawwuf falsafi. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa tasawwuf ini cenderung ekstrim, liberal, dan liar. Liberalitas tasawwuf ini terlihat dalam fenomena ittihad dan hulul. Yakni peleburan eksistensi hamba ke dalam eksistensi tuhan, atau meleburnya eksistensi tuhan ke dalam eksistensi hamba.
Sebagin pihak mensinyalir ide-ide semacam ini berasal dari luar sumber Islam (al Quran dan As Sunnah). Pandangan ini tentu saja berdasarkan teori borrowing and influence (pinjaman dan pengaruh) dalam menganalisa suatu kasus. Namun, jika kita teliti lagi, kita akan menemukan bahwa sumber-sumber Islam juga mengajarkan
Akhirnya, pembatasan tingkat tertinggi ini paling tidak berfungsi mengakomodir dua cara pandang yang tadinya dianggap kontradiktif, pandangan ahli fikih dan ahli tasawwuf. Dengan cerdas, keduanya pandangan itu dielaborasi sehingga memunculkan sintesa yang maslahat bagi umat. Cara pandang yang bersifat kompromistis semacam inilah yang sampai sekarang dipakai oleh kalangan nahdliah. Cara pandang yang tawasuth, tawazun, tasamuh, dan i’tidal. Semoga bisa dilestarikan.