Jamaah Jumat yang berbahagia, tidak henti-hentinya kita panjatkan syukur ke hadirat Allah swt. yang dengan nikmat iman dan islam yang kita rasakan sejak lahir atau sejak kita rasakan betul-betul menjadi seorang muslim yang merasakan kehadiran kebenaran islam di hati sanubari kita -yang insya allah akan kita jaga, senantiasa pelihara dan tingkatkan hingga akhir hayat kelak-.
Sholawat dan salam kita sampaikan kepada junjungan nabi besar Muhammad saw. yang dengan berbagai pencerahan yang diberikan kepada kita, khususnya kepada umat islam dan umumnya kepada umat manusia, kita dapat hidup berdampingan secara damai, kita dapat hidup berdampingan dengan saling mendukung antara satu dengan yang lain tanpa harus melihat latar belakang agama, kepercayaan, atau etnisitas masing-masing.
Jamaah Jumat yang berbahagia, sejak kehadiran nabi besar Muhammad saw. semakin berekskalasi beberapa dekade belakangan ini adanya asumsi bahwa ketika kita berislam, melakukan seluruh rangkaian ajaran-ajaran islam, pada saat yang sama menurut asumsi ini kita juga dituntut menjadi seorang yang persis sama dengan nabi, -entah itu karena sifatnya sebagai seorang bapak, sifatnya sebagai seorang arab, atau sifatnya dengan berbagai etnisitas atau kontes-konteks yang meliputi seorang nabi muhammad SAW-. Di banyak tempat kita melihat umat Islam bereksistensi menunjukan identitasnya sebagai muslim dengan identitas-identitas yang mungkin tidak identik dengan islam itu sendiri.
Jamaah Jumat yang berbahagia, para ulama sudah mengkaji, membahas dengan berbagai kompleksitas bagaimana memahami teks al-Qur’an dan hadits dalam Islam, para ulama sudah berdiskusi tentang bagaimana seharusnya Nabi Muhammad saw. dijadikan teladan dalam hidup kita. Para ulama sudah mendiskusikan apakah nabi sebagai seorang yang diberikan kepercayaan diberikan amanah untuk menerima wahyu apakah nabi Muhammad saw. sebagai seorang rasul apakah nabi Muhammad saw. sebagai seorang Bapak, apakah nabi Muhammad saw. sebagai seorang pemimpin, apakah nabi Muhammad saw. sebagai seorang arab, harus diikuti keseluruhannya dari A sampai Z.
Jamaah Jumat yang berbahagia, sekedar mengutip Imam al-Qarafi atau Syekh Mohammad al Ghazali beliau menyampaikan bahwa tidak seluruh aspek kehidupan nabi yang harus atau wajib dicontoh atau diteladani oleh umat Islam. Nabi, khususnya sebagai seorang arab, tidak mesti dicontoh sebagai seorang arab. Maka dengan demikian, Islam sebenarnya memberikan celah bagi kita untuk dapat menunjukkan identitas kita sebagai seorang muslim. Tetapi pada saat yang sama juga dapat menunjukkan identitas kita dengan berbagai hal-hal yang mengikat kita sebagai umat manusia. Entah itu etnisitas kita, entah itu kebangsaan kita, atau berbagai identifikasi yang dilekatkan pada umat manusia.
Dalam beberapa hal misalnya, nabi Muhammad SAW. pernah menyampaikan pada umat islam di Madinah pada waktu itu agar supaya dalam mengembangkan tanaman kurma yang mereka miliki supaya disilangkan, tetapi hasilnya tidak menunjukan hal yang positif, kemudian Nabi menyampaikan bahwa antum a’lamu bi umuri dunyakum“…bahwa engkau Manusia, lebih mengerti dengan urusan-urusan duniamu.”
Nabi Muhammad saw. bukan seorang teknolog, bukan seorang biolog, yang bisa menjelaskan segala macam aspek kehidupan manusia. Hal-hal yang memang sudah menjadi keahlian, sudah menjadi ketrampilan, sudah menjadi skill yang mungkin tidak dijelaskan dalam agama boleh dipraktekkan dan boleh disosialisasikan dan diamalkan oleh umat manusia manapun. Itulah kemudian dalam beragama khususnya agama islam kita kenal istilah Fiqhu aulawiyat atau fiqih prioritas. Dimana, misalnya amal-amal ibadah yang memiliki haqqut taqdim, amal-amal ibadah yang memiliki hak prioritas perlu diprioritaskan atas ibadah-ibadah yang lain. Ini dalam kondisi ketika dua bentuk ibadah, misalnya, harus dilakukan pada saat yang sama.
Saya ingin memberi contoh, kita sangat dianjurkan untuk melaksanakan sholat nawafil atau solat sunah qobliyah atau ba’diyah, sangat-sangat dianjurkan, hanya sedikit saja sholat sunah qobliyah dan badiyah ini kemudian mencapai titik yang difardukan, tetapi tidak diwajibkan oleh nabi besar Muhammad saw. Amalnya sangat besar, sangat tinggi, dikatakan bahkan dua rekaat sebelum sholat subuh itu menyamai bahkan melebihi kebaikan dunia dan akhirat. Jadi pahalanya, efeknya, nilainya sangat besar. Tetapi, ketika kita datang ke masjid, dan sholat fardhu jamaah sudah dimulai, kita tidak dianjurkan melaksanakn sholat sunah qobliyah lagi. Walaupun kita mengerti, sholat sunah qobliyah itu sangat besar pahalanya.
Kita dianjurkan untuk memberikan hak prioritas kepada jenis ibadah yang lebih bermanfaat, yang lebih tinggi, yang lebih prioritas – dalam hal ini sholat berjamaah-. Karena sholat berjamaah jauh lebih besar pahalanya daripada sholat sendirian.
Contoh yang lain, ketika kita sholat di rumah misalnya, kita melihat anak yang satu tahun sedang terancam bahaya, sedang merangkak, menuruni tempat tidur, atau sedang merangkak mendekati tangga di rumah.
Pertanyaan yang muncul, apakah kita tetap melaksanakan sholat atau membatalkan sholat dan menuntun anak kita supaya selamat. Kalau bicara tentang fiqih, maka kita tidak boleh meninggalkan sholat. Sama sekali. Dosa besar membatalkan sholat karena tidak adanya hal-hal yang membolehkan. Nah, adanya hal-hal yang mengancam kehidupan anak kita, kehidupan kita sekalipun, kita melaksanakan sesuatu yang maslahat -dalam hal ini sholat- maka kita diwajibkan untuk meninggalkan sholat, membatalkan sholat dan menolong anak kita. Ini fiqih yang kita sebut dengan istilah fiqih prioritas. Dalam kaidah-kaidah usul fiqih, kaidah-kaidah yurisprudensi Islam dikatakan dar’ul mafasik muqadamun ‘ala jalil masalih ‘menolak bahaya, menolak mudharat, harus lebih diutamakan daripada mencapai maslahat’. Kita bisa sholat, tetapi kita bisa batalkan ketika ada bahaya yang mengancam dan kemudian melaksanakan sholat setelah memberikan rasa aman kepada orang-orang disekitar kita. Itu fiqih auwaliyat, Ada juga namanya fiqih waqi’i atau fiqih realitas, dimana ketika kita dihadapkan pada realitas-realitas baru maka fiqih yang kita pahami secara tradisional dapat kita dialogkan dengan keadaan-keadaan yang baru itu.
Banyak kita temui misalnya, ketika kita sholat di mushala-mushala baru, ketika kita sholat di pusat-pusat perbelanjaan misalnya, kita tahu kita dianjurkan untuk sholat qobliyah dan badiyah. Tetapi, dalam keadaan kita sholat di shopping center, dimana tempatnya sangat kecil orang yang sholat sangat banyak, maka kita tidak dianjurkan kemudian untuk berlama-lama melaksanakan sholat di mushola dengan melaksanakan berbagai ritual yang memang dianjurkan pada saat normal. Sementara kita membiarkan orang lain menunggu, berdiri, untuk melaksanakn sholat maghrib misalnya, dalam waktu yang sangat pendek.
Dalam fiqih misalnya, kita memang dianjurkan supaya ketika kita sedang sholat, ada orang yang mau lewat di depan kita, kita dianjurkan untuk memberikan tanda atau melarang dengan cara yang luhur supaya orang tidak lewat di depan kita yang sedang sholat. Tetapi dalam suasana yang darurat, dalam suasana orang berlalu lalang kita tidak dianjurkan kemudian untuk dengan cara yang tegas, misalnya melebarkan tangan kemudian melarang orang lain lewat di depan kita, sementara aktifitas-aktifitas kerja, aktifitas-aktifitas hidup orang lain juga sedang menunggu gilirannya.
Jamaah Jumat yang berbahagia, disinilah kemudian Islam menunjukan betapa Islam memberikan celah bagi kita untuk dapat mengaktualisasikan diri kita sebagai seorang muslim dan pada saat yang sama juga sebagai seorang, yang dalam hal ini misalnya, orang yang berbangsa dan berbahasa Indonesia. Pada waktu awal-awal mayoritas umat islam di Indonesia, misalnya, sebelum kemerdekaan, kalau Bapak-bapak sekalian bisa melihat sejarah pelaksanaan sholat Jumat misalnya, sholat Jumat atau khutbah Jumat tidak boleh dilaksanakan atau disampaikan dalam bahasa selain bahasa Arab. Kita cari dalil-dalinya, tidak ada hadits atau dalil apapun yang membolehkan kita menyampaikan khutbah Jumat selain dalam bahasa Arab. Tetapi tujuan yang ingin dicapai, dalam pelaksanaan khutbah Jumat adalah bagaimana agar jamaah memahami apa yang disampaikan oleh khotib. Maka kemudian setelah berbagai diskusi dan cara beradaptasi dengan teks al-Qur’an dan hadits maka kemudian ulama hampir sepakat membolehkan bahwa khutbah Jumat boleh disampaikan dalam bahasa selain bahasa Arab.
Kita dulu tidak boleh sholat jumat kecuali di masjid kecamatan, hanya satu masjid yang boleh melaksanakan sholat Jumat, yaitu masjid di tingkat kecamatan, yang biasa kita sebut dengan istilah Masjid Jami. Sekarang, semua masjid yang memang melaksanakan sholat 5 waktu kemudian mewajibkan atau membolehkan pelaksanaan sholat jumah walaupun itu berdekatan. Karena kebutuhan-kebutuhan yang mendesak sesama umat Islam.
Dulu, fiqih yang kita pahami bahwa yang ditempati sholat Jumat adalah masjid, bukan mushola. Masjid yang memang wajib melaksanakan sholat 5 waktu dan tidak boleh ditinggalkan. Tetapi sekarang, walaupun kita berdekatan dengan masjid lain, walaupun mushola kita berdekatan dengan mushola lain, walaupun gedung kita berdekatan dengan gedung lain, karena kebutuhan umat Islam, kita dapat melaksanakn sholat Jumat dengan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, misalnya lebih dari 40 orang.
Jamaah Jumat yang berbahagia, demikianlah, sekali lagi Islam memberikan jalan, banyak yang terang bagi kita sebagai umat Islam yang dengan identitas lainnya bisa beradaptasi dengan keadaan kita masing-masing. Pada saat yang sama kita bisa menunjukan secara tinggi dan bersemangat tentang identitas keislaman kita, kita sholat 5 waktu, kita melaksanakan ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadits dan pada saat yang sama kita juga bisa menunjukan identitas kita sebagai manusia Indonesia, sebagai orang Jawa, sebagai orang Betawi, sebagai orang Sunda dan sebagainya. Islam memberikan jalan yang sangat terang untuk itu.
Dalam persoalan bid’ah yang sering disampaikan oleh beberapa kalangan umat Islam, kita memang mengenal istilah bid’ah hasanah dan bid’ah sayi’ah, yaitu bid’ah yang pertama bid’ah hasanah, sesuatu yang memang baru kita lakukan tetapi memberikan manfaat buat umat Islam, buat kita sendiri, buat keluarga kita.
Sementara bid’ah yang dilarang adalah bid’ah sayi’ah yang memang bersangkut paut langsung dengan ritualitas yang memang telah ditentukan oleh ajaran Islam. Secara sederhana walaupun kita bersemangat untuk melaksanakn sholat kita tidak bisa melaksanakan sholat subuh dengan tiga rakaat. Karena hanya dua rakaat sholat subuh yang disyariatkan oleh Allah swt. Demikian, sekali lagi kita telah memahami, telah menunjukkan, betapa Islam memberikan arahan-arahan yang jelas, memberikan celah, memberikan pintu yang sangat lebar kepada umat manusia dimanapun kita berada menjadi umat manusia yang pada saat yang sama menjadi seorang muslim yang kuat dan pada saat yang sama juga memiliki identitas-identitas kebangsaan atau etnisitas lainnya.
Demikian, barakallah…
—
[Khutbah Jumat yang disampaikan Faried F. Saenong PhD di Mall Belagio