-->

Dialog Ramadhan di Maroko, bersama Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA

Dokumentasi Kegiatan
        Serba-serbi
    Kontak PPI
    Partner Kami

Dialog Ramadhan di Maroko, Bersama Prof. Dr. H. Ali Mustafa Yaqub, MA
Thursday, 25 August 2011 15:07 administrator

Pertama kami ucapkan ahlan wa marhaban di Maroko, bertepatan dengan kehadiran Bapak pada acara pengajian Durus Hassaniah tahun ini, dapatkah diceritakan sekilas kronologi undangan tersebut?

Undangan tersebut sebenarnya hasil upaya Bapak Duta Besar RI untuk Kerajaan Maroko, H Tosari Widjaja yang mengusulkan nama saya kepada Kementerian Wakaf dan Urusan Islam agar dapat hadir pada Durus Hassaniah. Untuk itu saya sangat mengapresiasi upaya Bapak Dubes tersebut semoga menjadi amal baik dan berpengaruh dalam meningkatkan hubungan Indonesia-Maroko, terutama dalam urusan kerjasama dalam dakwah Islam. Semoga Allah SWT memberikan kesehatan dan keberkahan dalam usia Bapak Dubes ketujuh puluh satu, serta senantiasa sukses dalam menjalankan misinya di Maroko.

Bagaimana Bapak mengenal Maroko selama ini ?

Kunjungan saya ke Maroko adalah yang pertama kali. Namun kunjungan satu kali lebih baik daripada mendengar seribu kali tentang Maroko. Sebelumnya saya banyak mengenal warga Maroko, terutama saat saya belajar di Universitas Islam Muhammad Bin Saud - Riyadh. Selain itu, saat liburan kuliah waktu sekolah di Kerajaan Saudi Arabia, seperti biasa saya pergi ke Eropa terutama ke Belanda, dan dari situ saya mengenal banyak imigran asal Maroko yang bekerja di berbagai bidang. Bertepatan dengan itu saya ingat, dulu Kolonel Muammar Khadafi pernah mengkritik Raja Hassan II perihal mencium tangan adalah ajaran feodalis. Padahal sebenarnya banyak hadist shahih dari nabi yang menjelaskan bolehnya mencium tangan ulama.

Selanjutnya kegiatan Bapak yang utama adalah menghadiri Durus Hassaniah, bagaimana pandangan bapak mengenai pemikiran ulama Maroko?

Pengalaman saya menghadiri Durus Hassaniah, yaitu saat ceramah Guru Besar Universitas Ibn Tofail Kenitra, Prof. Bahija  Shaddady, dengan tema : “Unsur-Unsur Keluarga dalam Islam”. Salah satu ayat dikutip oleh Prof. Bahija  Shaddady: (wa lirrijali ‘alaihinna darajah), artinya : bahwa bagi kaum laki-laki atas mereka perempuan derajat. Yang intinya adalah laki-laki derajatnya akan lebih tinggi dari perempuan apabila dia menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya, seperti dalam ayat lain : “laqad kaana fie Rasulallahi uswatun hasanatun”. Kalau mengutip tafsir imam At Tabari, ayat tersebut bentuknya khobar/berita tetapi maknanya insya atau perintah. Maksudnya jadilah laki-laki yang memiliki peranan penting, sehingga laki-laki derajatnya diatas perempuan.

Bahija Shaddady dalam hal ini dia membahas gender dalam presfektif tafsir. Selanjutnya, Prof. Bahija  Shaddady mengatakan terkait masalah peraturan Allah adalah menciptakan keluarga, yang tidak dibuatkan institusi sosial lain yang mana kedudukan laki-laki dan perempuan secara bersama. Yaitu, mereka hidup dalam atap keluarga sebagaimana Allah SWT menciptakan keluarga agar memiliki pengaruh yang besar baik secara sosial maupun politik dalam masyarakat. Karena dia (Allah) yang menentukan peraturan hubungan antara segenap unsur keluarga dan negara. Disamping itu, Allah mensyariatkan etika keluarga agar tidak terjadi kemadharatan yaitu dengan tidak melanggar batas-batas  yang telah ditentukan Tuhan. Demikian pemikiran wanita sudah unggul di maroko.

Bertepatan dengan peringatan kemerdekaan RI yang ke 66, bagaimana pandangan Bapak, apakah bangsa Indonesia telah mengisi kemerdekaan tersebut sesuai dengan tujuan para pahlawan dan the Founding Father NKRI?

Kita tahu bahwa Indonesia sangat luas wilayahnya, misalkan perjalanan dari Sabang sampai Merauke dengan menggunakan pesawat memakam waktu tujuh jam. Padahal perjalanan udara dengan pesawat dari Jakarta ke Jeddah mencapai enam jam. Melihat  sumber daya alam dan sumber daya yang melimpah luas, maka sudah saatnya Indonesia menjadi leader, minimal bagi negara Islam.

Bertepatan dengan tibanya bulan Ramadhan, banyak tayangan di televisi yang menyiarkan program yang menggangu kesempurnaan puasa. Hal tersebut terjadi di Indonesia sebagaimana terjadi di negara Arab, seperti Maroko, bagaimana komentar Bapak?

Memang moral bangsa Indonesia terancam hancur, sebagaimana yang disampaikan wakil ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Ray Seta Supit yang mengatakan bahwa siaran televisi berdasarkan rating yang ditentukan negara asing. Dimana sponsor akan memberikan sponsor dana kepada yang memiliki rating tinggi. Hal ini merupakan rekayasa Barat guna menempatan penayangan kekerasan dan film berbau sexsual pada ratingnya yang tinggi, daripada program yang berbentuk edukasi dan agama. Kekhawatiran tersebut dirasakan oleh Ibu Ray, walaupun dia bukan seorang muslimah, Namun dirinya tidak ridho apabila moral bangsa Indonesia dihancurkan melalui rating rekayasa itu.

Keprihatinan yang dimaksud pernah saya sampaikan kepada Menteri Agama saat itu, Maftuh Basyuni, tetapi beliau juga hanya dapat menyatakan prihatin, dan tidak dapat berbuat banyak dalam masalah tersebut. Selanjutnya, saya juga menyampaikan kepada Menag Basyuni, agar kiranya Dana Abadi Umat dapat digunakan sebagai dana mencetak seribu Doktor dalam bidang agama. Karena hal tersebut sangat dibutuhkan di Indonesia yang umat Islam lebih banyak daripada di Malaysia. Saya perkirakan bahwa suatu saat nanti, ahli agama Malaysia jumlahnya lebih banyak daripada di Indonesia. Namun sayang, Dana Abadi umat itu tidak dapat digunakan untuk itu, padahal kalau bisa digunakan manfaatnya akan lebih dapat dirasakan oleh umat.

Apakah Al Quran turun pada tanggal 17 Ramadhan sebagaimana yang difahami di kalangan umum umat Islam di Indonesia ?

Banyak orang Indonesia yang meyakini bahwa Al-Quran diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan. Hal tersebut mungkin karena bertepatan dengan kermedakaan Indonesia yang diraih dari tangan penjajah pada tanggal 17 Agustus 1945. Dikuatkan juga pendapat Ibnu Ishaq, yang kemudian pendapat ini dinukil oleh Ibnu Hisyam dalam buku sejarahnya, Sirah Ibnu Hisyam. Selanjutnya pendapat itu dinukil oleh Muhammad al Khudhori yang diabadikan dalam bukunya yang berjudul Tarikhul Tasri’ Islami yang tersebar di Indonesia. Padahal pandangan itu tidak terdapat dalil naqlinya, kecuali ayat dari surat Al Anfaal ayat 114. Sebenarnya kalau kita kembali kepada Al Hadist, Al Quran pertama kali diturunkan pada tanggal 24 Ramadhan.

Al Quran diturunkan pada tanggal 24 Ramadhan, sebagaimana ayat dalam al Quran yang artinya: “Sesungguhnya aku turunkan – pada malam qodar”. Dan dipadukan dengan hadist yang artinya : ‘al Quran diturunkan padaku pada tanggal 24 Ramadhan’. Jadi para ulama sepakat bahwa al Quran turun pada malam itu, (24 Ramadhan)’. Tapi setelah itu, Rasulullah tidak menjelaskan pada tanggal berapa turunya lagi ayat, namun carilah pada malam-malam yang ganjil, maka hikmahnya bagi kita tidak mengambil satu malam saja, namun kita dapat mencari lailatul qadar pada setiap malam. Jadi agar tidak ada sepekulasi misalkan pada tanggal dua puluh tujuh saja.

Ada pandangan yang mengatakan bahwa muslim Indonesia terlalu fiqih orientid dan seharusnya bagaimana pandangan Bapak?

Yah... di Indonesia, lebih fiqih orintid daripada hadist orientied. Padahal sebaiknya harus beorintasi kepada hadist, misalkan sholat jamaah adalah fardhu kifayah –kalau sholat sudah dilakukan berjemaah sudah cukup. Namun Rasulullah tidak pernah menjalankan sholat wajib sendirian dan senantisa dilakukan di masjid. Contoh orang lebih mementingkan sunnah daripada wajib dan lebih mengutamakan yang ganjarannya sedikit, seseorang dalam melakukan haji dan umrah sampai beberapa kali, karena di Indonesia ada orang berkeyakinan, bahwa yang sering ke Mekah adalah baik ibadahnya, dan orang yang baik kantongnya. Kalau memang demikian itu tidak benar karena Rasulullah punya kesempatan haji tiga kali, tetapi dia menjalankan haji hanya satu kali, Rasulullah pernah memiliki kesempatan umrah ratusan kali tetapi Rasulullah hanya melakukan umroh dua kali dan dia lakukan itu bukan pada bulan Ramadhan.

Sebenarnya haji yang mabrur adalah apabila niatnya karena Allah, biaya dari hasil halal dan manasiknya ala Rasulullah. Apabila tiga syarat ini tidak ada, maka haji semacam ini saya ibaratkan dengan haji pengabdi syetan. Rasulullah bersabda : saya dan kafil yatim seperti dua jari ini di syurga. Sekarang ini, kadang-kadang subtansi ibadah ini sudah diselewengkan maksudnya, misalnya saat ini banyak sepanduk yang ditempel : ” Bayarlah Zakatnya, dan Raih Hadiahnya’.

Kalau begitu, umat Islam saat ini kurang memiliki rasa sense of belong terhadap sesama saudaranya yang hidup dalam kemiskinan?

fenomena haji beberapa kali terjadi di Indonesia. Misalkan di Jawa Barat dua pertiga dari jamaah pernah melakukan haji. Haji pertama adalah wajib dan sesudahnya sunnah... alangkah baiknya biaya haji sunnah diberikan kepada yang membutuhkan seperti menyantuni yatim piatu, janda-janda miskin, membangun kepentingan ibadah dan lain-lain di jalan Allah. Namun lebih mengutamakan ibadah sosial. Contoh kongkritnya, Rasulullah dan para sahabat pada saat menetap di Madinah menanggung 400 yang belajar. Dalam satu riwayat, Rasullah setiap hari memberikan makanan bagi 70 orang.

Seorang peneliti, Prof Dr. Allaudi al Jafari sekretaris dewan fatwa di Damaskus_Suriah mengatakan biaya 5 miliyar dollar untuk haji yang tidak wajib. Dan sekitar 8 miliyar dollar dari umrah di bulan Ramadhan. Jadi sekitar 13 milyar dollar uang digunakan untuk haji dan umrah yang tidak wajib, belum ditambah biaya umrah di luar bulan Ramadhan. Kedutaan Besar Saudi setiap hari menerbitkan 5.000 sampai 10.000 visa umrah dan sekitar  2 milyar dollar dari Indonesia saja. Kalau kita cermati uang sebesar itu, dapat digunakan sebagai biaya untuk mengentaskan kemiskinan 837 juta penduduk dunia yang miskin, termasuk bencana kelaparan saat ini yang melanda Somalia yang penduduknya mayoritas adalah pemeluk Islam.

Mungkin dapat diceritakan kenangan Bapak studi agama di luar negeri dan kenapa memilih belajar di Saudi Arabia?

Mungkin untuk menjawab pertanyaan ini ada ungkapan bahwa ‘setiap musibah pasti ada hikmahnya’.  Setelah saya selesai Madrasah Aliyah di Jombang, ayah saya meninggal dan ibu tidak mungkin menyediakan kuliah di dalam negeri. Jadi ada dua pilihan bekerja di kampung atau mencari beasiswa. Untuk itu, saya mulai koresponden untuk belajar di Madinah yang pada saat itu sudah ada kawan yang duluan belajar Muhammad Yazid Ramli, namun tidak ada jawaban. Kemudian mencoba koresponden ke Universitas Islam Muhammad Bin Saud - Riyadh dan Alhamdulillah diterima. Disamping itu, banyak kawan yang menasehati belajar di luar negeri. Ini mungkin takdir saya dapat melanjutkan studi di Saudi Arabia.

Kemudian setelah selesai master, saya berencana mengabdikan ilmu yang sudah diterima di Papua sebagai petani. Rencananya akan membeli tanah sekalian bertani juga berdakwah. Kembali saya ke tanah air setelah kakak saya yang baru usia 34 tahun meninggal. Sesampai di tanah air, saya bertemu Abdurrahman Wahid (Gusdur), H Ahmad Syaikhu yang merupakan ketua muktamar ‘Alam Islami dan dari MUI, Ibrahim Husein yang mana mereka menasehati saya agar tinggal di Jakarta, hingga saat ini saya menjabat sebagai Imam Besar, Masjid Istiqlal-Jakarta. Selain itu saat ini juga memimpin Maahadul ‘Ali Darus Sunnah, dan In Syaa Allah dalam waktu dekat cabang Darussanah akan dibangun di Malaysia.

Sebagaimana diketahui, mahasiswa Indonesia tersebar di berbagai negara Arab, seperti di Mesir, Saudi Arabia dan Maroko, Bagaimana pandangan Bapak ?

Alhamdulillah, hal tersebut adalah hal yang bagus misalkan di Mesir terdapat lebih dari 5000, di Saudi Arabia fluktuasi bahkan pernah sampai 1500, di Maroko terus meningkat. Namun apabila dibandingkan dengan Malaysia, jumlah tersebut sangat disayangkan yang mana mahasiswa Malaysia di Mesir kurang lebih 12 ribu orang, padahal jumlahnya muslimnya hanya 15 juta. Sedangkan muslim di Indonesia mencapai 200 juta lebih, jadi tidak mustahil suatu saat nanti orang Indonesia belajar agama di Malaysia, sebagaimana saat ini terdapat lebih mahasiswa Indonesia belajar di berbagai universitas di Malaysia.

Dan saya juga menyarankan, agar mahasiswa Indonesia meningkatkan kualitas keilmuannya, kalau perlu jangan kembali pulang ke Indonesia, kecuali sesudah meraih gelar Doctoralnya untuk diamalkan di tanah air. Pengalaman saya banyak yang sudah meraih gelar di Saudi Arabia, tetapi memutuskan tidak kembali ke tanah dengan alasan materil, dan akhirnya menjadi tukang di negeri orang. Namun demikian, dapat harus dilihat unsur manfaatnya, terutama bagi keluarga dan umat yang akan dihadapi. Contohnya saya punya teman orang Indonesia, namanya Syamsi Ali yang menjabat Jamaica Muslim Centre hingga sekarang dia berada di New York- USA, bahkan keberadaan dia di USA sangat diperlukan oleh muslim Amerika. Jadi dimanapun berada kita harus bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang di sekitarnya.

Bagaimana agar kita terhindar dari penyakit hati ?

Penyakit hati sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Syafii Maarif, premanisme ulama, itu adalah penyakit hubbud dunya yang sedang menjangkit di dunia.  ada hadist dhoif, tapi dhoifnya tidak parah, yaitu hadist dhoif yang disampaikan oleh Hassan Al Basri namun dapat dipakai; “mencintai dunia adalah pangkal segala kejahatan”. Solusinya adalah jangan menjadikan dunia ini sebagai tujuan kita karena kita hanya melewati. Yakinlah, bahwa apabila kita menolong Allah, Allah akan memberikan kemudahan dan rizki sebagaimana yang saya alami, saat ini sudah punya pesantren dan bahkan punya cabang di Malaysia, mengirim da’i ke Papua yang biayanya cukup besar. Karena saya yakin Allah akan menolong hambanya apabila kita menolong-Nya sebagaimana yang tercantum dalam Al Quran.

Contoh kalau punya tanah dapat mendirikan pesantren, walaupun dengan tiga orang dan terus bertambah sehingga di rumah tidak cukup dapat dilakukan di mesjid, kemudian buat asrama kalau mengamalkan ayat tersebut, bahkan ada yang belikan tanah.

Kami disini (Maroko), bagaimana berinterkasi dengan pemikiran baru yang tidak di dapatkan di Indonesia, bagaimana saran Bapak? Dan bagaimana pandangan Bapak tentang JIL di Indonesia ?

Menurut hemat saya kita dapat mempelajari segala pemikiran selama tidak bertabrakan dengan Al Quran dan Al Hadist. Apabila pemikiran bertentangan dengan keduanya, maka segera tinggalkan dan pilihlah yang berasal dari Al Quran dan Alhadist. Misalkan kami pernah berkunjung ke mesjid tertua di Rabat, bernama Al Qosbah yang dibangun pada abad keenam Hijriah, terdapat tulisan : mihrab ini tidak persis menghadap ke bangunan kabah, tetapi benkok ke utara karena memahami hadist riwayat Imam Muslim yang disampaikan di Madinah yang artinya : antara Timur dan Barat adalah kiblat.

Berkaitan dengan itu Imam Ahmad dan Ibnu Qhudamah pernah mengatakan bahwa dzohir Al Hadis adalah mencakup antara timur dan barat adalah kiblat. Jadi orang yang berada di sebelah utara, maka kabah kiblatnya sebelah selatan, begitu juga sebaliknya, dan orang yang di barat kabah adalah kiblatnya ke sebelah timur begitu juga sebaliknya.

Tetapi orang yang mengikuti Google harus serong ke kanan 21 derajat. Dalam sebuah seminar saya pernah mengatakan, tujukan kepada saya dalil syar’i, bahwa ketika umat Islam tidak serong 21 derajat  maka sholatnya tidak sah. Namun tidak ada seorangpun yang dapat menunjukkan dalilnya, tetapi hanya menunjukkan alasan sebagaimana di Google, dan Google bukan dalil syar’i. Kalau saya sendiri memilih dalil syar’i daripada digebuki di akhirat lebih baik di dunia, namun silahkan apabila ada yang memilih yang lain karena itu adalah hak asasi, namun harus bertangung-jawab di akhirat nanti. Jadi kalau ada pertentangan pemikiran, maka yang harus dipilih adalah Al Quran dan Al Hadist.

Berkenaan dengan JIL, saya lebih suka memberikan pancingan daripada ikan, dan anda yakin lebih menyukai diberikan pancingan untuk mengail ikan daripada diberikan ikan hasil pancingan. Namun demikian, saya akan sedikit memberikan gambaran, bahwa dalam Islam yang liberal-liberal dilarang, karena kalau kita liberal berarti kita boleh meninggalkan sholat, boleh tidak.

Terus bagaimana, nasehat bapak untuk para mahasiswa Indonesia yang belajar di Timur Tengah dan tips apa saja yang dapat disampaikan kepada mereka ?

Upayakan keberadaan di Maroko dimanfaatkan dengan baik, belajar sungguh-sungguh dan banyak bergaul dengan para ulama dan orang Arab di sekitarnya agar kemampuan bahasa Arabnya terus meningkat, bukan sebaliknya kembali ke Indonesia justru menguasai bahasa daerah, misalkan bahasa Jawa atau Sunda daripada bahasa Arab. Berkaitan dengan itu, Rasulullah pernah menyuruh Zaid Bin Tsabit belajar bahasa Ibrani (Israel), mungkin untuk saat ini mahasiswa harus menguasai minimal satu bahasa resmi PBB misalkan Arab, dan kalau bisa menguasai bahasa Inggris sebagai alat untuk bedakwah.

Contoh konkritnya, saya menerangkan tentang agama Islam kepada Presiden USA, Barack Obama saat berkunjungan ke mesjid Istiqlal – Jakarta dengan bahasa Inggris. Dan menurut saya,  melawan pemikiran dengan kuat adalah dengan mengunakan bahasa Inggris. Hal ini sesuai dengan ayat dalam al Quran yang artinya : “Jika kalian menolong Allah, pasti Dia akan menolong kalian...”.  Jadi berjuang di jalan Allah juga berdakwah dengan bahasa Inggris.

Jangan lupa mulai dari sekarang harus membiasakan dakwah bilkitabah karena manfaatnya lebih besar, dan ganjarannya akan terus mengalir walaupun si penulisnya sudah meninggal dunia. Saya sendiri sudah menulis 34 buku baik dalam bahasa Indonesia, Arab dan Inggris dan sudah tersebar selain di Indonesia juga ke Amerika dan Afrika Selatan.

Keingginan kuat menulis buku tersebut, setelah saya membaca sebuah syair di perpustakaan Damaskus, Alkhothu yabqaa zamanan bada shoohibihi, wa shohibul khothi alal Ardhi madfuunan, yang artinya : tulisan akan tetap abadi setelah empunya -meninggal-, dan sedangkan pemilik tulisan itu di dalam tanah terkubur. Akhirnya, tidak lupa meninggat bahwa tujuan kita belajar ilmu agama sesuai dengan doa Rasulullah : Alhhumma faqihnaa fiddiin wa alimnaa takwilah, Yaa Allah jadikan kami orang yang faham tentang agama dan ajarkan kepada kami takwil. Yaitu jadilah kalian ulama sejati yang mumpuni dan berkualitas untuk diamalkan Indonesia nanti.

Catatan penulis : dialog ini merupakan intisari dari ceramah Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, MA, imam besar mesjid Istiqlal Jakarta di Wisma Duta Besar RI di Rabat pada tanggal 20 Agustus 2011. Pengajian tersebut disiarkan langsung oleh radio pengajian dot com, dan dihadiri antara lain oleh Bapak Dubes, H. Tosari Widjaja dan isteri, seluruh staf KBRI Rabat besrta keluarga, segenap anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Maroko, masyarakat Indonesia dan undangan para akademisi Maroko, antara lain Prof. Meriem Ait Ahmed, dosen di Universitas Ibn Tofail- Kenitera.

                                              

Rabat, 24 Ramadhan 1432 H (25 Agustus 2011)

                                                            Penulis : Dr. H. Arip Rahman, Lc, DESA

                                                            Tinggal di Rabat-Maroko

LihatTutupKomentar

القرأن حجة لنا


Membaca Al-Quran secara rutin tiap hari dengan metode: ”فَمِي بِشَوْقٍ“ Setiap huruf yang tersebut menjadi simbol dari awal surat yang dibaca. Maka: - Huruf “fa`” adalah simbol dari surat “al-fatihah”. - Huruf “mim” maksudnya dimulai dari surah al-maidah. - Huruf “ya`” maksudnya dimulai dari surah Yunus. - Huruf ”ba`” maksudnya dimulai dari surah Bani Israil yang juga dinamakan surah al-isra`. - Huruf “syin” maksudnya dimulai dari surah asy-syu’ara`. - Huruf “waw” maksudnya dimulai dari surah wash shaffat. - Huruf “qaaf” maksudnya dimulai dari surah qaf hingga akhir mushaf yaitu surah an-nas. Channel

murajaah

Literature Review

fikih (184) Tasawwuf (122) Local Wisdom (59) hadis (51) Tauhid (45) Ilmu Hadis (28) Bahasa Arab (25) Kebangsaan (23) Moderasi Beragama (22) Biografi (20) Al Quran (19) Tafsir (19) ilmu tafsir (2)

Dendam

Total Tayangan Halaman

HEAD

kongko bareng emte

Foto saya
belajar sepanjang hayat, santri berbahasa Arab dan Inggris dari Sukabumi Jawa Barat yang meretas dunia tanpa batas