بسم الله الرحمن الرحيم
A.
Biografi
Joseph Schacht
Joseph Schacht ialah
seorang sejarawan Hukum yang memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi ilmu
pengetahuan, baik tentang perkembangan sejarah Hukum Islam atau tentang Sunnah
Nabi, dua persoalan yang Fundamental tidak dapat di pisahkan satu sama lain.
Pendekatannya mungkin dapat disimpulkan sebagai perluasan dari sikap skeptis
Ignaz Goldziher terhadap pembentukan Hukum Islam dalam Hadis Nabi yang memiliki
peranan.
Schacht lahir pada
tanggal 15 maret 1902 di Ratibor Silesia, (dulu termasuk wilayah Jerman, tapi
sekarang sudah termasuk wilayah Polandia, Raciborz), hanya menyeberangi
perbatasan dari Cekoslowakia. Ia juga berasal dari Keluarga yang Relative
Agamis dan terdidik. Ayahnya Eduard Schacht adalah penganut Katolik Roma dan
Sebagai Guru Anak-anak bisu dan tuli. Pada Tahun 1945 ia menikah dengan Loise
Isabel Dorothy dari ingris.[1]
Joseph Schacht memulai
pendidikannya di Ratibor (kediamannya). Setelah mempelajari bahasa yahudi dari
seorang Rabbi dan setelah menerima pendidikan di Gymnasium Klasikal (1911-1920)
ia melanjutkan Studinya di Universitas Breslau (Wroclaw) untuk mempelajari
Filosof klasik semitik dan teologi. Karirnya dimulai sejak menerima
pemilihan akademis di Universitas Freiburg Breusgau pada tahun 1925. Dua tahun
kemudian dia dipilih sebagai asisten Professor ketika berusia 25 Tahun. Pada
Tahun 1929 merupakan tahun terpenting dalam karirnya, sebab pada tahun tersebut
ia dipromosikan menjadi professor penuh di bidang bahasa ketimuran. Pada tahun
1932 ia diminta untuk menduduki jebatan di bidang yang sama di Universitas
Konigsbers dimana ia tinggal hanya dua tahun, sebab pada tahun 1932 ia
meletakkan jabatannya sebagai syarat protes terhadap Rezim Nazi. Pada tahun
1939 ia pindah ke ingris dan bekerja di sana sebagai seorang peneliti
masalah-masalah ketimuran di departemen penerapan Ingris. Pada tahun 1946 ia
pertama kali dipilih sebagai dosen di Universitas Oxford. Pada tahun 1954
dengan berat hati ia meninggalkan jabatannya di Oxford dan pergi ke Belanda
untuk menjabat sebagai guru besar di bidang Bahasa Arab dan kajian keislaman di
Universitas Columbia pada tahun 1957-1958. Pada Bulan Januari 1970 ia mempunyai
maksud untuk mengundurkan diri dari Universitas Columbia Karena ia ingin pulang
kembali ke Ingris bersama istrinya, dimana ia melanjutkan rutinitasnya sebagai
sarjana dan melakukan sebuah penelitian kembali. Akan tetapi semua keinginannya
tidak terealisasikan dengan baik, karena tiba-tiba ia terserang pendarahan di
otak dan meninggal dunia di rumahnya di New Jersey pada tanggal 1 Agustus 1969.[2]
B.
Pemikiran
Joseph Schacht
Pemikiran Joseph
Schacht mempunyai kepercayaan Tradisional mengenai Hukum Islam yang telah
mapan, sejak abad ke 19 ia dihadapkan oleh berbagai tantangan serius. Mulai
dari kolonialisasi dan Imperialisme pengaruh barat terhadap dunia Islam yang
sangat dominan, sehingga berakibat beberapa aspek ajaran Islam dipertanyakan
dan di gugat. Salah satunya ditujukan terhadap doktrin-doktrin sumber Hukum
Islam. Hal tersebut berbeda dengan pemahaman Tradisional, kajiannya tidak
bersifat Teologis maupun Yuridis, akan tetapi lebih bersifat Historis dan
Sosiologis. Ia menawarkan Islam bukan sebagai seperangkat norma yang diwahyukan
Tuhan, akan tetapi sebagai fenomena Historis yang berhubungan erat dengan
seting sosial dalam artian ia meneliti keaslian sumber Hukum Islam melalui
proses sejarah. Oleh sebab itu bagaimanapun masa lalu yang mempengaruhi masa
kini, dan masa kini mempengaruhi masa yang akan datang. Sehingga tidak di
herankan apabila sebagian besar Hukum Islam, termasuk sumber-sumbernya
merupakan akibat dari sebuah proses perkembangan sejarah.
Salah satu kementarnya
sangat kontracesial dan menggugat keimanan seorang muslim yang saleh ialah
pertanyaan bahwa rujukan hadis-hadis dari para sahabat nabi merupakan prosedur
yang lubih tua, dan teori tentang otoritas hadis-hadis nabi yang lebih berkuasa
ialah inovasi. Dan untuk membuktikan gagasan ini ia menguji evolusi istilah
sunnah sebagaimana telah di pakai pada masa Arab pra Islam dalam tradisi Lisan.
Aliran fikih klasih dari para sahabat nabi sampai pembukuan hadis pada masa
Umar Ibn Abdul Aziz dari dinasti Umayyah, oleh ahli hukum yang terkenal seprti
Syafi’i. Syafi’I sendiri berhasil membuat gagasan freksibel sunnah sebagai
kumpulan praktik yang telah diterima dalam Madzhab-madzhab awal yang disebut
sebagai “Tradisi Hidup” Madzhab-madzhab.[3]
Kemudian ia merumuskan
teori Yurisprudensi hukum Islam dengan Empat sumber Hukum. Pertama : Al-Qur’an
yang dijelskan didalamnya dan diterima. Kedua : As-Sunnah atau praktik Nabi
Muhammad yang dikisahkan Hadis Shahih. Nah kedua sumber hukum ini tidak
seluruhnya bisa menjawab semua persoalan Masyarakat, oleh sebab itu harus
ditambahkan dua sumber Hukum yang lain. Salah satu diantaranya ialah Qiyas,
Analogi atau penalaran Analogi, yaitu persoalan-persoalan yang tidak ditemukan
dalam praktik Nabi Muhammad atau sahabat diselesaikan dengan menggunakan Analogi.
Dan yang terakhir ialah Ijma’ atau Konsesus. Khususnya bagaimana istilah itu
berkembang. Akan tetapi Syafi’i juga sempat terlibat polemik mengenai masalah
ini dan identifikasi ekslusif sunnah dengan spesifik Nabi Muhammad SAW atau
sifat kewahyuan sunnah yang memberikan bukti untuk memadai akan keberadaan
spektrum pendekatan terhadap sunnah sebelum dan sepanjang karirnya.
Kemudian ia berpendapat
sendiri dari istilah sunnah yang berarti kebiasaan masyarakat yang diriwayatkan
oleh peristiwa lisan dan digunakan pada masa Pra Islam. Adapun sunnah
tersendiri atas praktek kebiasaan prosedur atau tindakan Adat, Norma, Standar
atau cara yang didukung oleh hadis. Al-Qur’an memberikan bukti bahwa prinsip
pembimbing kehidupan moral Pra Islam adalah sunnah Masyarakat Arab yang
diriwayatkan secara lisan dari Nenek moyang mereka. Adapun yang secara
kebiasaan itu benar dan pantas dan telah dilakukan oleh nenek moyang, maka hal
itu patut ditiru. Sehingga ia berkesimpulan bahwa hukum islam memiliki
akar-akar dalam Masyarakat Pra Islam.[4]
Ide Pra Islam mengenai
sunnah dalam istilah kebiasaan dapat dijadikan teladan dan Norma. Islam
mengembangkan sunnahnya sendiri, seperti sistem sosial dan cara-cara legalnya
yang layak, apakah hal ini diambil dari kebiasaan yang lebih tua atau
diletakkan oleh hal Ihwal Nabi. Oleh sebab itu tidak mengagetkan bahwa beberapa
persoalan hukum dalam islam yang berdasarkan atas kesinambungan tradisi Pra
Islam seperti Hukum keluarga dan Hakam. Dalam beberapa aspek hukum keluarga
yang lebih penting menurut Joseph Schacht seperti perkawinan, perceraian,
kewarisan, dan zihar. Kemudian mengenai kasus poligami yang disetujuai oleh
Al-Qur’an dan As-Sunnah nabi ialah praktek-praktek orang arab Pra Islam.
Meskipun terdapat berbagai modifikasi mengenai batasan jumlah istri yang
sekaligus dapat dinikahi.[5]
Joseph Schacht termasuk
Orientalis yang cukup produktif. Meskipun ia dikenal dengan kecenderungannya
dalam mengkaji dan mendalami fikih, ia juga banyak menulis karya dalam
bidang-bidang yang lain. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdurrahman badawi
bahwa karya-karya Joseph Schacht terdiri dari beberapa disiplin ilmu antara
lain ialah:
1.
Kajian
Mengenai Ilmu Kalam.
2.
Tahqiq
(Menyunting dan Mengedit) atas dasar menuskrip-manuskrip Kitab Fikih.
3.
Kajian
mengenai Fikih.
4.
Kajian
mengenai Sejarah, Ilmu Pengetahuan, dan Filsafat Islam.
5.
Kajian-kajian
keislaman lainnya.
Menurut penilaian
Abdurrahman badawi, karya Joseph Schacht yang paling menonjol ialah karyanya
dalam kajian Sejarah Fikih Islam. Karya utama Schacht dalam kajian ini ialah The
Origins Of Muhammadan Jurisprudence setebal 350 halaman. Disamping pada
tahun 1960 ia menerbitkan kembali buku yang berjudul An Introduction to
Islamic Law (Pengantar Hukum Islam).[6]
Kadua karyanya
berdominasi Fikih (Hukum Islam), hanya saja dalam kedua bukunya khususnya The
Origins Of Muhammadan Jurisprudence, ia berusaha mengembangkan teori yang
sempat digagas oleh pendahuluannya yaitu Ignas Goldziher dan Margoliuth, dalam
metode kritik hadis yang diproyeksikan untuk meruntuhkan hukum islam. Ia juga
menyajikan hasil kajiannya dalam kajian Hukum Islam dengan mengkritik
hadis-hadis yang berkaitan dengan Hukum. Ia juga berkesimpulan bahwa
hadis-hadis nabi mengenai hukum adalah palsu, sebab hadis hukum hanyalah buatan
para ulama abad kedua dan ketiga hijriah.
Proyek ktitiknya
terhadap Hukum Islam telah meragugan peran penting dari kontribusi Al-Qur’an
terhadap perkembangan Hukum Islam. Bahkan ia secara khusus berpendapat bahwa
Al-Qur’an pada esensinya hanya berisikan hal-hal yang bersifat etis dan hanya
sedikit yang bersifat hukum. Ia juga mengingkari adanya peran penting Al-Qur’an
terhadap perkembangan Hukum Islam yang penting. Ia juga berkesimpulan bahwa
hukum Islam (Muhammadan Law, istilah yang digunakannya sebagai ganti
dari Islamic Law), tidak secara langsung bersumber dari Al-Qur’an, akan
tetapi ia mengembangkan sebuah tradisi umum dan tersusun di bawah pemerintahan
dinasti Umayyah.[7]
Dalam bukunya yang
berjudul Introduction To Islamic Law, ia berkata bahwa Khulafa
Ar-Rasyidin tidak menunjuk Qadji (Hakim), akan tetapi pada pemerintahan
Umayyah para gubernurnya mengambil langkah-langkah penting dalam mengangkat
para Hakim Islam atau Qadhi. Kemudian tesis semacam ini telah menggiring pada
sebuah kesimpulan, bahwa sebagian besesar abad pertama Hijriah, Hukum Islam,
dalam pengertian teknis belumlah ada. Pendapat yang senada dapat ditemukan
dalam karyanya yang lain, yaitu Origins Of Muhammadan Jurisprudence,
sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr. Musthafa Azami bahwa Joseph menuturkan
bukti adanya hadis-hadis hukum yang membawa kemunduran sekitar tahun 100 H.
Pada saat itu pemikiran hukum islam berawal dari akhir pemerintahan dan praktek
popular dari dinasti Umayyah, yang masih direfleksikan dalam sebuah hadis.[8]
Kritikanya terhadap
hadis-hadis Hukum Islam disebabkan oleh kelangkaan ayat-ayat hukum dalam
Al-Qur’an, serta kebermulaan hukum islam mendapat hujan kritik yang cukup
deras, baik dari orientalis maupun dari sarjana muslim.[9]
Sejumlah orientalis seperti Goitein, Coulson, dan Powers menghujat kritikan
terhadap kesimpulan Joseph Schacht. Goitein merasa bahwa sekian banyak bukti
yang ada sangatlah jelas bahwa persoalan hukum yang telah dihadapkan kepada
Nabi Muhammad saw diputuskan oleh beliau. Dan Prof. Dr. Musthafa Azami Menambah
pendapat Joseph Schacht dengan memaparkan beberapa hal, sebagai berikut :[10]
1.
Aktifitas
Yudisial nabi Muhammad saw, sebagai seorang utusan sekaligus penjelasan atas
Al-Qur’an, menjelaskan mengenai perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an yang
masih bersifat Universal. Hal ini merupakan sebuah data yang akurat dan
mematahkan tesis kebermulaan hukum islam pasca abad pertama hijriah.
2.
Catatan
hukum dan keputusan yang didasarkan pada keputusan atau contoh Nabi Muhammad
saw.
3.
Literature
hukum abad pertama. Ada beberapa data yang dapat menguatkan alasan bahwa
literatur hukum yang dicetuskan pada abad pertama hijriah, sebagaimana
keputusan Mu’adz 18 H di baca dan diriwayatkan oleh Thawus 23-101 H di Yaman.
4.
Disamping
pembukuan keputusan Mu’adz, atau hasil Ijtihad yang dilakukan oleh Umar bin
Khathab, ibn Mas’ud, Urwah ibn Zubair, Zaid ibn Tsabit telah dikonfirmasikan
dengan baik.
Azami berpendapat bahwa
tidak ada keobjetifan Joseph Schacht dalam mengkaji fikih. Menurut Azami ia
dengan sengaja membuat pengkaburan fikih dengan mengganti Nomenklaur fikih
dengan nomenklatur barat. Hal tersebut dapat di tinjau dari istilah yang
digunakan oleh Joseph Schacht dalam karyanya yang bertajuk (Introduction Of
Islamic Law), dimana ia membagi fikih kedalam beberapa judul , orang,
harta, kewajiban umum, kewajiban dan kontrak khusus, dan lain sebagainya.
Sususnan tersebut menurut Azami sengaja diperkenalkan oleh Joseph Schacht,
sebab dia ingin mengubah hukum islam pada hukum Romawi yang tidak ada kaitannya
sama sekali dengan topik pembahasan dan pembagian yang digunakan dalam sistem
perundang-undangan Islam. Dari beberapa istilah yang terdapat dalam fikih di
atas dapat disimpulkan bahwa sejumlah orientalis, khususnya Joseph Schacht
meragukan keotentisitas fikih sebagai sebuah disiplin ilmu yang orisinil.
C.
Kajian
Sanad Hadis Joseph Schacht
Dalam mengkaji hadis
Nabi ia lebih banyak menyoroti aspek sanad (transmini, silsilah keguruan) dari
pada aspek matan (materi hadis). Sementara kitab-kitab yang dipakai dalam
penelitiannya ialah kitab Al-Muwaththa’ (Karya Imam Malik), Al-Muwaththa’
(Karya Imam Muhammad Al-Syaibani), dan kitab Al-Umm dan Al-Risalah
(Karya Imam Al-Syafi’i).[11]
Akan tetapi menurut Prof. Dr. M. M Azami kitab tersebut lebih layak disebut
dengan kitab-kitab Fikih dari pada kitab-kitab Hadis. Sebab kedua jenis kitab
tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu dalam meneliti
hadis-hadis yang terdapat pada kitab-kitab fikih hasilnya tidak akan tepat,
sebab penelitian hadis diharuskan dengan kitab-kitab hadis.
Joseph juga berpendapat
bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa Al-Sya’bi (w. 110. H). penegasan
tersebut memberikan pengertian bahwa apabila ditemukannya hadis-hadis yang
berkaitan dengan hukum islam, maka hadis tersebut merupakan buatan orang-orang
yang hidup sesuadah Al-Sya’bi. Ia juga berpendapat bahwa hukum islam baru
dikenal semenjak masa pengangkaan para Qadhi (Hakim Agama). Adapun pengangkatan
Qadhi baru dilakukan pada masa dinasti Umayyah (Kira-kira 715-720 M), yang mana
pengangkatan tersebut di tujukan kepada orang-orang Spesialis dan berasal dari
kalangan yang taat beragama. Sebab orang-orang spesialis bertambah banyak, maka
akhirnya menjadi aliran fikih klasik, yang mana hal ini terjadi pada dekade
abad kedua hijriah.[12]
Sebuah keputusan hukum
yang diberikan oleh Qadhi memerlukan legitimasi dari orang yang memiliki
otoritas lebih tinggi, sebab mereka tidak menisbahkan keputusan itu kepada diri
sendiri, melainkan menisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya. Misalnya orang
Iraq yang menisbahkan pendapat meraka kepada Ibrahim Al-Nakha’I (95 H).
kemudian dalam perkembangan berikutnya pendapat para Qadhi tidak hanya
dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan
dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dulu, misalnya Masruq. Langkah selanjutnya
untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat lagi, pendapat tersebut dinisbahkan
kepada tokoh yang memiliki otoritas paling tinggi, misalnya Abdullah ibn
Mas’ud, kemudian pendapat mereka dinisbahkan kepada nabi Muhammad saw. Nah
Rekonstruksi Sanad Hadis menurut Joseph, yaitu dengan memproyeksikan pendapat
tersebut kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada di belakang mereka, dan disebut
teori Projecting Back. Kemudian muncul aliran-aliran fikih klasik yang membawa
konsekuensi Logis, yaitu bermulannya kelompok oposisi yang terdiri dari Ahli
hadis. Pemikiran dasar kelompok ahli hadis ialah hadis yang berasal dari nabi
Muhammad saw. Dan harus mengalahkan aturan yang dibuat oleh kelompok aliran
fikih. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan ini, kelompok ahli hadis membuat
penjelasan dan hadis, seraya mengatakan bahwa hal itu pernah dikerjakan atau
diucapkan oleh nabi Muhammad saw. Mereka juga mengatakan bahwa hal tersebut
diterima secara lisan berdasarkan sanad yang bersambung dari para periwayat
hadis yang dapat dipercaya.
Joseph Schacht
berpendapat bahwa kelompok aliran fikih klasik dan ahli hadis adalah pemalsu
Hadis, sebab sebagaimana yang dikutip oleh Mustafa Yaqub,[13]
Joseph Schacht mengetakan “we shall not meet any legal tradition from the
prophet which can be considered authentic (kita tidak akan dapat menemukan
satupun hadis nabi yang berkaitan dengan hukum yang dapat dipertimbangkan
sebagai hadis saheh)”. Dan untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para
orientalis, khsusunya Joseph Schacht yang telah meneliti aspek sejarah, M Azami
membantah teori Joseph Schaht, khususnya mengenai sejarah hadis. Azami
melakukan penelitian khusus mengenai hadis nabi yang terdapat dalam naskah
klasik, diantanya ialah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w/138 H). Abu
Shaleh (ayah suhail) ialah murid Abu Hurairah sahabat nabi Muhammad saw.
Adapun naskah Suhail
berisi 49 hadis. Sementara Azami meneliti perawi hadis tersebut sampai kepada
generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-Thabaqah Al-tsalitsah),
termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membutikan bahwa pada jenjang ketiga
jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka
terpencar-pencar dan berjauhan, antaranya india sampai maroko, antara turki
sampai yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Azami berkesimpulan bahwa sangat mustahil meneurut ukuran situasi dan kondisi
pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis palsu sehingga
redaksinya sama. Dan sengat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat
hadis, kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang
mereka buat itu sama. Artinya Azami bertolak belakang dengan kesimpulan Joseph
Schacht, baik mengenai rekontruksi terbentuknya sanad hadis, maupun bunyi teks
(matan) hadis.
Azami mengemukakan
hadis dengan contoh hadis nabi yang artinya:
Nabi Muhammad bersabda
: apabila salah seorang di antra kalian bagun dari tidurnya, maka hendaknya ia
mencuci tangannya, karena ia tidak tahu semalam tangannya berada dimana.
Hadis ini dalam sebuah
naskah Suhail bin abi Shaleh berada pada urutan nomor 7, dan pada jenjang
pertama (generasi sahabat) diriwayatkan oleh lima orang, yaitu Abu Hurairah,
ibn Umar, Jabir, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib. Abu Hurairah sendiri kemudian
meriwayatkan hadis ini kepada 13 orang Tabi’in (generasi kedua). 13 Tabi’in ini
meyebar ke berbagai penjuru negeri Islam. 8 orang menetap di Madinah, seorang
tinggal di Kufah, 2 orang tinggal di Basharah, 1 orang tinggal di Yaman, dan 1
orang lagi tinggal di Syam.
Kemudian 13 Tabi’in
tersebut meriwayatkan lagi kepada generasi berikutnya (Tabi’it Tabi’in),
sehingga jumlah mereka menjadi 16 orang. 6 orang tinggal di Madinah, 4 orang
tinggal di Kufah, 2 orang tinggal di Mekah, 1 orang tinggal di Yaman, 1 orang
tinggal di Khurasa, 1 orang tinggal di Syam. Maka mustahil apabila 16 orang
yang domisilinya terpecah-pecah di tujuh kota yang berjauhan pernah berkumpul
pada satu saat untuk bersama-sama membuat hadis palsu yang redaksinya sama,
atau lebih mustahil pula jika mereka secara sendiri-sendiri di kediaman
masing-masing membuat hadis, dan kemudian diketahui bahwa redaksi hadis
tersebut secara kebetulan sama. 16 perawi di atas hanya dari jalur Abu
Hurairah. Dan apabila jumlah perawi ditambah dengan perawi dari jalur lainnya,
yaitu Ibn Umar, Jubir, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib, maka jumlah perawi akan
menjadi banyak. Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Joseph Schacht
dengan teori Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad hadis
tersebut baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para
Qadhi dalam menetapkan suatu hukum ialah tidak benar, hal ini sudah dibuktikan
oleh persepsi Azami dengan penelitiannya bahwa sanad hadis itu memang mustahil
sampai kepada Rasulullah saw melalui jalur yang disebutkan di atas, akan tetapi
merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari nabi Muhammad saw.
[3]
Irwandi Dekonstruksi Pemikiran Islam (Identitas Nilai dan Realitas Empiris),
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Press, 2003, hal 7-8.
القرأن حجة لنا
Membaca Al-Quran secara rutin tiap hari dengan metode: ”فَمِي بِشَوْقٍ“ Setiap huruf yang tersebut menjadi simbol dari awal surat yang dibaca. Maka: - Huruf “fa`” adalah simbol dari surat “al-fatihah”. - Huruf “mim” maksudnya dimulai dari surah al-maidah. - Huruf “ya`” maksudnya dimulai dari surah Yunus. - Huruf ”ba`” maksudnya dimulai dari surah Bani Israil yang juga dinamakan surah al-isra`. - Huruf “syin” maksudnya dimulai dari surah asy-syu’ara`. - Huruf “waw” maksudnya dimulai dari surah wash shaffat. - Huruf “qaaf” maksudnya dimulai dari surah qaf hingga akhir mushaf yaitu surah an-nas. Channel
murajaah
Literature Review
fikih
(184)
Tasawwuf
(122)
Local Wisdom
(59)
hadis
(51)
Tauhid
(45)
Ilmu Hadis
(28)
Bahasa Arab
(25)
Kebangsaan
(23)
Moderasi Beragama
(22)
Biografi
(20)
Tafsir
(20)
Al Quran
(19)
ilmu tafsir
(2)
Dendam
Total Tayangan Halaman
HEAD
kongko bareng emte
- s.id/mtaufiqh
- belajar sepanjang hayat, santri berbahasa Arab dan Inggris dari Sukabumi Jawa Barat yang meretas dunia tanpa batas