بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد
Allah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ( سورة الشورى : 11 )
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari
satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”.
(QS. as-Syura: 11)
Penjelasan:
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur'an yang berbicara
tentang tanzih (mensucikan Allah dari menyerupai makhluk), at-Tanzih al Kulliy;
pensucian yang total dari menyerupai makhluk. Jadi maknanya sangat luas, dari
ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah maha suci dari berupa benda, dari
berada pada satu arah atau banyak arah atau semua arah. Allah maha suci dari
berada di atas arsy, di bawah arsy, sebelah kanan atau sebelah kiri arsy. Allah
juga maha suci dari sifat-sifat benda seperti bergerak, diam, berubah,
berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain dan sifat-sifat benda yang
lain.
Al-Imam Abu Hanifah berkata:
أنـّى يُشْبِهُ الْخَالِقُ مَخْلُوْقَـهُ
"Mustahil Allah menyerupai makhluk-Nya".
Dengan demikian Allah tidak menyerupai makhluk-Nya, dari satu segi
maupun semua segi. Al-Imam Malik berkata:
وَكَيْفَ عَنْهُ مَرْفُوْعٌ
"Kayfa ( bagaimana; sifat-sifat benda) itu mustahil bagi
Allah".
Perkataan al-Imam Malik ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Bayhaqi
dengan sanad yang kuat. Maksud perkataan al-Imam Malik ini adalah bahwa Allah
maha suci dari al Kayf (sifat makhluk) sama sekali. Definisi al Kayf adalah
segala sesuatu yang merupakan sifat makhluk seperti duduk, bersemayam, berada
di atas sesuatu dengan jarak dan lain–lain.
الْمَحْدُوْدُ عِنْدَ عُلَمَاءِ التّوْحِيْدِ مَا لَهُ حَجْمٌ
صَغِيْرًا كَانَ أوْ كَبِيْرًا، وَالْحَدُّ عِنْدَهُمْ هُوَ الْحَجْمُ إنْ كَانَ
صَغِيْرًا وَإنْ كَانَ كَبِيْرًا، الذَّرَّةُ مَحْدُوْدَةٌ وَاْلعَرْشُ مَحْدُوْدٌ
وَالنُّوْرُ وَالظَّلاَمُ وَالرِّيْحُ كُلٌّ مَحْدُوْدٌ.
"Menurut ulama tauhid yang dimaksud dengan al-mahdud
(sesuatu yang berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil
maupun besar. Sedangkan pengertian al-hadd (batasan) menurut mereka adalah
bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah (sesuatu yang terlihat dalam cahaya
matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai ukuran dan disebut Mahdud
demikian juga arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing mempunyai ukuran
dan disebut Mahdud ".
Penjelasan:
Allah berfirman:
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَجَعَلَ
الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ (سورة الأنعام : 1)
"Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dan menjadikan kegelapan dan cahaya" (QS. al An'am : 1).
Dalam ayat ini Allah ta'ala menyebutkan langit dan bumi, keduanya
termasuk benda yang dapat dipegang oleh tangan (Katsif). Allah juga menyebutkan
kegelapan dan cahaya, keduanya termasuk benda yang tidak dapat dipegang oleh
tangan (Lathif). Ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa pada Azal
(keberadaan tanpa permulaan) tidak ada sesuatupun selain Allah, baik itu benda
katsif maupun benda lathif. Dan ini berarti bahwa Allah tidak menyerupai benda
lathif maupun benda katsif.
Allah ta'ala menciptakan alam ini terbagi menjadi dua bagian: benda dan
sifat benda. Benda terbagi menjadi dua: Pertama: benda katsif yaitu benda yang
dapat dipegang oleh tangan seperti pohon, manusia, air dan api. Kedua: Benda
Lathif, yaitu benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan seperti cahaya,
kegelapan, ruh, udara.
Masing-masing benda memiliki batas, ukuran, dan bentuk, Allah
berfirman:
وَكُلُّ شَىْءٍ عِندَهُ بِمِقْدَارٍ ( سورة الرعد : 8 )
"Segala sesuatu bagi Allah memiliki ukuran (yang telah
ditentukan)" (QS. ar-Ra'd: 8)
Bahwa benda katsif memiliki ukuran adalah hal yang sudah jelas.
Sedangkan mengenai bahwa benda lathif memiliki ukuran adalah sesuatu yang
memerlukan pengamatan dan penelitian yang seksama. Cahaya misalnya memiliki
tempat dan ruang kosong yang diisi olehnya, cahaya matahari menyebar ke areal/jarak
yang sangat luas yang diketahui oleh Allah, ukurannya sangat luas. Sementara
cahaya lilin ukurannya sangat kecil. Cahaya kunang–kunang yang berjalan di
rerumputan di malam hari, Allah jadikan cahayanya sekecil itu. Cahaya yang
paling luas adalah cahaya surga. Jadi masing-masing cahaya tersebut memiliki
batas dan ukuran yang membatasinya. Kegelapan juga memiliki ukuran dan ruang
kosong yang diisi olehnya. Kadang tempat kegelapan tersebut sempit dan kadang
luas. Demikian juga angin memiliki tempat yang diisi olehnya. Para Malaikat
diperintahkan oleh Allah untuk menimbangnya dan mengirimkannya sesuai dengan
perintah dan ketentuan Allah. Ada angin yang dingin, angin yang panas. Ada
angin yang Allah kirimkan untuk menghancurkan suatu kaum, begitu juga ada angin
yang dikirimkan sebagai rahmat. Jadi masing-masing angin tersebut memiliki
timbangan yang telah ditentukan oleh Allah. Demikian juga, ruh memiliki ukuran.
Ketika ruh berada pada tubuh manusia, ruh berukuran sama dengan badan
orang tersebut dan ketika ruh berpisah, meninggalkan badan seseorang ia
bertempat di udara tanpa menyatu dengan jasadnya. Kesimpulannya; setiap makhluk
pasti memiliki tempat, baik tempat yang besar maupun yang kecil.
Benda paling kecil yang diciptakan oleh Allah dan bisa dilihat oleh
mata adalah haba'. Haba' adalah sesuatu yang kecil yang terlihat apabila sinar
matahari masuk ke dalam rumah dari jendela, nampak seperti debu yang kelihatan
oleh mata, benda ini disebut haba'. Memang masih ada lagi benda yang lebih
kecil dari haba', yang bahkan tidak dapat dilihat oleh mata karena sangat
kecilnya, walaupun demikian tetap saja benda tersebut memiliki bentuk yaitu
bentuk yang paling kecil yang diciptakan oleh Allah yang disebut dalam istilah
tauhid al-Jawhar al-Fard; bagian yang tidak bisa dibagi-bagi lagi. Al-Jawhar
al-Fard adalah benda yang paling kecil yang diciptakan oleh Allah, al-Jawhar
al-Fard adalah asal bagi semua benda.
Semua benda ini memilki batas dan ukuran dan karenanya membutuhkan
kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, dan dengan begitu benda tidak
sah menjadi tuhan. Ketuhanan hanya sah berlaku bagi yang tidak memiliki ukuran
sama sekali, yaitu Allah yang maha suci dari status Mahdud (Allah tidak
memiliki batas dan ukuran). Makna Mahdud di sini tidak hanya berlaku bagi
sesuatu yang memiliki bentuk kecil saja akan tetapi sesuatu yang memiliki
bentuk yang besar juga disebut Mahdud.
Sedangkan al-A'radl adalah sifat benda seperti bergerak, diam, warna,
rasa dan lain–lain. Jadi di antara sifat benda adalah bergerak dan diam,
sebagian benda terus-menerus bergerak, yaitu bintang, bahkan an-Najm al-Quthbi
(bintang yang bisa menunjukkan arah kiblat) sekalipun bergerak, hanya saja
gerakannya pelan dan bergerak di tempatnya. Sebagian benda lagi ada yang
terus–menerus diam seperti tujuh langit yang ada. Sebagian benda lagi kadang
diam dan kadang bergerak seperti manusia, malaikat, jin dan binatang.
Termasuk di antara sifat benda juga adalah berwarna kadang sesuatu
berwarna putih, ada yang berwarna merah, kuning atau hijau. Matahari juga
memiliki sifat, di antara sifatnya adalah panas. Angin juga memiliki sifat di
antara sifatnya adalah dingin, panas, berhembus dengan kuat atau pelan.
Jadi Allah ta'ala yang menciptakan alam ini dengan berbagai macam jenis
dan bentuknya, maka Dia tidak menyerupainya, dari satu segi maupun semua segi.
Allah ta'ala tidak menyerupai benda katsif maupun benda lathif dan juga tidak
bersifat dengan sifat–sifat benda, Allah tidak menyerupai satupun dari segala
sesuatu yang diciptakan-Nya, oleh karena itu Ahlussunnah mengatakan:
اللهُ مَوْجُوْدٌ بِلاَ مَكَانٍ وَلاَ جِهَةٍ
"Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah".
Allah menjadikan arah atas sebagai tempat bagi arsy dan para Malaikat
yang mengelilinginya dan juga sebagai tempat bagi al-Lauh al-Mahfuzh dan
lain-lain. Allah menjadikan manusia, binatang, serangga dan lain-lain bertempat
di arah bawah. Jadi Dzat yang menciptakan sebagian makhluk bertempat di arah arsy
dan sebagian yang lain di arah bawah mustahil bagi-Nya memiliki arah. Karena
seandainya dikatakan dia berada di salah satu arah atau bertempat di semua arah
niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah telah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ( سورة الشورى : 11 )
"Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya". Inilah aqidah
yang diyakini oleh semua kaum muslimin di negara-negara muslim; Indonesia,
Mesir, Irak, Turki, Maroko, AlJazair, Tunisia, Yaman, Somalia dan daratan Syam,
mereka semua dan yang lain di negara-negara lain semua mengajarkan keyakinan
ini.
Sedangkan orang yang meyakini bahwa Allah adalah benda yang sama
besarnya dengan arsy, memenuhi arsy atau separuh dari arsy atau meyakini bahwa
Allah lebih besar dari arsy dari segala arah kecuali arah bawah atau bahwa
Allah adalah cahaya yang bersinar gemerlapan atau bahwa Allah adalah benda yang
besar dan tidak berpenghabisan atau berbentuk seorang yang muda atau remaja
atau orang tua yang beruban, maka semua orang ini tidak mengenal Allah. Mereka
tidak menyembah Allah, meskipun mereka mengira diri mereka muslim. Mereka
bukanlah orang yang menyembah (beribadah) Allah, yang mereka sembah adalah
sesuatu yang mereka bayangkan dan gambarkan dalam diri mereka, sesuatu yang
sesungguhnya tidak ada. Musibah mereka yang paling besar adalah bahwa mereka
tidak memahami adanya sesuatu yang bukan benda. Oleh karena itu mereka –dengan
segenap upaya- berusaha menjadikan Allah benda yang bersifat dengan sifat-sifat
benda pula, lalu bagaimana bisa mereka mengaku mengenal dan memahami firman
Allah: Laysa Ka Mitsli Syai’ (QS. Asy-Syura: 11) dan beriman kepadanya?!!
Seandainya mereka benar-benar mengetahui ayat tersebut dan beriman dengannya
niscaya mereka tidak akan menjadikan Allah sebagai benda, karena alam ini seluruhnya
adalah benda dan sifat-sifat yang ada padanya.
Seandainya terjadi perdebatan antara orang-orang Musyabbihah
(orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seperti orang Wahhabi
-yang meyakini bahwa Allah adalah benda, yang memiliki ukuran- dengan orang
yang menyembah matahari. Orang Wahhabi akan mengatakan kepada penyembah
matahari: Anda, wahai penyembah matahari, matahari yang engkau sembah ini tidak
berhak untuk menjadi tuhan. Penyembah matahari akan menjawab dan berkata kepada
orang Wahhabi: bagaimana mungkin matahari tidak berhak untuk disembah, padahal
bentuknya indah, manfaatnya sangat besar, anda bisa melihatnya dan saya juga
melihatnya dan semua orang melihatnya, semua orang mengetahui dengan baik
manfaatnya. Bagaimana mungkin agama saya batil dan agamamu benar, sementara
anda menyembah sesuatu yang anda bayangkan dalam diri anda, anda tidak
melihatnya dan kami juga tidak melihatnya, anda mengatakan tuhan anda adalah
bentuk yang besar yang duduk di atas arsy ?!!.
Orang Wahhabi tidak akan memiliki dalil 'aqli (argumen rasional),
seandainya orang Wahhabi mengatakan : al Qur'an telah menegaskan bahwa Allah
adalah pencipta alam, Dia-lah yang berhak untuk disembah, tidak ada sesuatu
selain-Nya yang berhak untuk disembah. Maka orang yang menyembah matahari
tersebut akan mengatakan kepadanya: Saya tidak beriman dengan kitab suci anda,
berikan kepada saya dalil 'aqli bahwa matahari tidak berhak untuk dijadikan
tuhan yang disembah dan bahwa apa yang anda sembah yang anda bayangkan (dalam benak
anda) itu berhak untuk disembah! Maka orang Wahabi akan terdiam dan
membisu.
Sedangkan kita, Ahlussunnah memiliki jawaban yang rasional. Kita akan
mengatakan kepada penyembah matahari : matahari yang anda sembah, yang
mempunyai ukuran tertentu dan bentuk tertentu, pasti membutuhkan kepada yang
menjadikannya dalam ukuran dan bentuk tersebut. Sedangkan tuhan kami, Ia adalah
sesuatu yang ada tetapi tidak menyerupai segala sesuatu yang ada, tidak
menyerupai sesuatupun dari makhlukNya, Dia tidak memiliki ukuran, tidak
memiliki bentuk, tidak memiliki arah, tidak memilki tempat dan tidak memiliki
permulaan. Inilah Dzat yang ada, yang kami sembah yang dinamakan Allah. Dialah
yang berhak untuk disembah. Dia yang menciptakan matahari yang anda sembah,
manusia dan segala sesuatu yang lain.
Seorang Sunni; penganut akidah Ahlussunnah ketika mengeluarkan hujjah
'aqli ini tanpa mengatakan: Allah ta'ala berfirman demikian, telah mampu
mengalahkan orang kafir yang menyembah matahari tersebut. Maka segala puji bagi
Allah yang telah memberikan kita petunjuk kepada keyakinan yang benar ini, kita
tidak akan menemukan kebenaran dan petunjuk semacam ini seandainya tidak karena
mendapat petunjuk Allah.
Al-Imam Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- berkata:
مَنْ زَعَمَ أنَّ إِلهَـَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ جَهِلَ الْخَالِقَ
الْمَعْبُوْدَ (رَوَاه أبُو نُعَيم)
"Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita
berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman
kepada-Nya)" (Diriwayatkan oleh Abu Nu'aym (W 430 H) dalam Hilyah
al-Auliya, juz 1, h. 72).
Penjelasan :
Maksud dari perkataan sayyidina Ali ini adalah bahwa orang yang
berkeyakinan atau beranggapan bahwa Allah adalah benda yang besar atau kecil
maka dia adalah kafir, tidak mengenal Allah, seperti orang yang meyakini bahwa
Allah menempati salah satu arah seperti arah atas. Karena dengan keyakinan
seperti ini orang tersebut telah menjadikan Allah mahdud (memiliki ukuran),
padahal setiap yang mahdud (berukuran besar atau kecil) pasti membutuhkan
kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, sementara yang membutuhkan itu
lemah dan yang lemah mustahil menjadi tuhan.
Dengan demikian dalam perkataan sayyidina Ali ini terdapat dalil yang
jelas bahwa Allah maha suci dari hadd (ukuran) sama sekali. Maka barangsiapa
yang menyandarkan kepada Allah sifat duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu
dengan jarak maka sesungguhnya dia tidak mengenal Allah, dan barangsiapa
berkeyakinan demikian terhadap Allah maka sesungguhnya ia seorang kafir yang
rusak akidahnya.
Haba' memiliki ukuran, semut memiliki ukuran, manusia memiliki ukuran,
matahari memiliki ukuran, langit memiliki ukuran, arsy memiliki ukuran. Jadi masing-masing
yang disebutkan memiliki ukuran dan membutuhkan kepada yang menjadikannya
dengan ukuran tersebut.
Jadi, setiap sesuatu yang memiliki ukuran pasti dia adalah makhluk,
yang membutuhkan (kepada selainnya) dan lemah maka tidaklah sah baginya sifat
ketuhanan. Ketuhanan hanya sah bagi yang tidak memiliki bentuk dan ukuran;
yaitu Dialah Allah yang tidak membutuhkan kepada seluruh alam, Dialah yang
tidak mempunyai bentuk dan ukuran.
Al-Imam al-Ghazali (semoga Allah
merahmatinya) berkata:
لاَ تَصِحُّ الْعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui
(Allah) yang wajib disembah”.
Artinya
barangsiapa yang tidak mengenal Allah dengan menjadikan-Nya memiliki ukuran
yang tidak berpenghabisan misalnya maka dia adalah kafir. Dan tidak sah
bentuk-bentuk ibadahnya seperti shalat, puasa, zakat, haji dan
lainnya.
Al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi ( 227-321
H) berkata:
تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالغَايَاتِ وَالأرْكَانِ
وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ
الْمُبْتَدَعَاتِ
"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun
besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi,
anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota
badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan
lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah,
kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam
arah penjuru tersebut".
Penjelasan :
Al-Imam ath-Thahawi adalah Ahmad bin Muhammad bin Sallamah, lahir tahun
227 H. Jadi beliau masuk dalam makna hadits yang disebutkan oleh Rasulullah
shallallahu 'alayhi wasallam:
خَيْرُ الْقُرُوْنِ قَرْنِي ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ
الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ )رَوَاهُ التّرمِذِي(
"Sebaik–baik abad adalah abad-ku, kemudian satu abad
setelahnya, kemudian satu abad setelahnya" (HR. at-Tirmidzi)
Al-Imam ath-Thahawi menyebutkan perkataannya tersebut dalam kitab
penjelasan aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah, yang kitab ini telah dianggap baik
dan diterima oleh seluruh ummat Islam dari generasi ke generasi.
Makna dari “Ta'ala” adalah bahwa Allah maha suci.
Maksud perkataan ath-Thahawi bahwa Allah maha suci dari ”Hudud” adalah
bahwa Allah maha suci dari Hadd sama sekali. Hadd adalah benda dan ukuran,
besar maupun kecil. Suatu benda pasti berada pada suatu tempat dan arah.
Sedangkan Allah maha suci dari berupa benda, berarti Allah ada tanpa tempat.
Seandainya Allah adalah benda niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal
Allah ta'ala telah berfirman:
فَلاَ تَضْرِبُوْا لِلّهِ الأمْثَالَ (سورة النحل : 74)
"Janganlah kalian membuat serupa-serupa bagi
Allah"(QS. an-Nahl: 74)
Dengan demikian barangsiapa mengatakan bahwa Allah memiliki hadd yang
hadd tersebut tidak ketahui oleh kita, hanya Allah saja yang mengetahuinya maka
sungguh orang ini adalah seorang yang kafir, karena dengan demikian dia telah
menetapkan Allah sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran.
Maksud perkataan ath-Thahawi ”La Tahwihi al-Jihat as-Sittu...” bahwa
Allah mustahil berada di salah satu arah atau di semua arah karena Allah ada
tanpa tempat dan arah. Enam arah yang dimaksud adalah adalah atas, bawah,
kanan, kiri, depan dan belakang.
Maksud perkataan ath-Thahawi ”Ka Sa-ir al-Mubtada’at” adalah bahwa
semua makhluk diliputi oleh arah, sedangkan Allah tidak menyerupai makhluk-Nya
dari satu segi maupun semua segi dan Allah tidak bisa digambaarkan dalam hati
dan benak manusia. al-Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan:
مَهْمَا تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ فاللهُ بِخِلاَفِ ذَلِكَ (روَاه
أبُو الفَضْلِ التَّمِيْمِيُّ)
"Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah),
maka Allah tidak seperti itu". (Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi).
Jika ada pertanyaan: Bagaimana hal demikian itu bisa terjadi (bahwa ada
sesuatu yang ada tetapi tidak bisa dibayangkan dan digambarkan dengan benak)?
Jawab: Bahwa di antara makhluk ada yang tidak bisa kita bayangkan akan tetapi
kita harus beriman dan meyakini adanya. Yaitu bahwa cahaya dan kegelapan
keduanya dulu tidak ada. Tidak ada satupun di antara kita yang bisa
membayangkan pada dirinya bagaimana ada suatu waktu atau masa yang berlalu
tanpa ada cahaya dan kegelapan di dalamnya?! Meski demikian kita wajib beriman
dan meyakini bahwa telah ada suatu masa yang berlalu tanpa dibarengi dengan
cahaya dan kegelapan, karena Allah berfirman:
وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنّوْرَ (سورةالأنعام : 1)
"...dan Dia yang telah menjadikan kegelapan dan
cahaya" (QS. Al-An'am: 1). Artinya bahwa Allah yang telah menciptakan
kegelapan dan cahaya dari yang sebelumnya tidak ada. Jika demikian halnya yang
terjadi pada makhluk, maka lebih utama kita beriman dan percaya tentang Allah
Yang mengatakan tentang Dzat-Nya: Laysa Kamitslihi Syai’ (QS. Asy-Syura: 11),
maka Allah tidak tergambar dalam benak dan tidak diliputi oleh akal, Allah ada,
maha suci dari bentuk dan ukura, ada tanpa tempat dan arah.
Al-Imam ath-Thahawi juga berkata:
وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِـي الْبَشَرْ فَقَدْ كَفَرَ
“Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia
maka ia telah kafir”.
Penjelasan :
Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia
telah kafir. Sifat–sifat manusia banyak sekali. Sifat yang paling nyata adalah
baharu, yakni ”ada setelah sebelumnya tidak ada”. Di antara sifat manusia juga
adalah mati, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain,
bergerak, diam, infi'al (merespon peristiwa dengan kegembiraan atau kesedihan
atau semacamnya yang nampak dalam raut muka dan gerakan anggota tubuh), turun
dari atas ke bawah, naik dari bawah ke atas, berpindah, memiliki warna, bentuk,
panjang, pendek, bertempat pada suatu arah dan tempat, membutuhkan, memperoleh
pengetahuan yang baru, terkena lupa, bodoh, duduk, bersemayam, berada di atas
sesuatu dengan jarak, berjarak, menempel, berpisah dan lain–lain. Jadi
barangsiapa mensifati Allah dengan salah satu sifat manusia tersebut maka dia
telah kafir.
Al-Imam Ahmad ar-Rifa'i (W 578 H) dalam
al-Burhan al-Mu-ayyad berkata:
صُوْنُوْا عَقَائِدَكُمْ مِنَ التَّمَسُّكِ بِظَاهِرِ مَا تَشَابَهَ
مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ أُصُوْلِ الْكُفْرِ
“Hindarkan aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir
ayat al Qur'an dan hadits yang mutasyabihat, sebab hal demikian merupakan salah
satu pangkal kekufuran”.
Penjelasan :
Al-Imam ar-Rifa'i hidup pada abad ke enam hijriyyah, beliau adalah
seorang ahli hadits, ahli tafsir, pengikut al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dalam
rumusan aqidah dan pengikut madzhab Syafi'i dalam fiqih. Beliau adalah orang
paling mulia dan paling alim di masanya. Beliau sangat menekankan tanzih
(mensucikan Allah ta'ala dari menyerupai makhluk). Di antara perkataan beliau
dalam masalah tanzih adalah perkataan yang beliau sebutkan dalam kitab
al-Burhan al-Muayyad tersebut. Maksud perkataan beliau adalah bahwa orang yang
mengambil zhahir sebagian ayat al Qur'an dan hadits Nabi, yang memberikan
persangkaan bahwa Allah adalah benda yang bersemayam di atas arsy atau bahwa
Allah berada di arah bumi atau bahwa Allah mempunyai anggota badan, bergerak
dan yang semacamnya maka orang tersebut telah kafir.
Seperti orang yang menafsirkan ayat:
الرّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)
dengan duduk maka orang tersebut telah kafir. Karena mengatakan duduk
bagi Allah adalah cacian terhadap-Nya sebab duduk adalah sifat malaikat, Jin,
manusia, anjing, babi dan monyet. Makna ayat tersebut yang benar adalah bahwa
Allah maha menguasai arsy. Makna ini layak bagi Allah karena Allah telah
menamakan Dzat-Nya:
اللهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّار (يوسف: 39)
”Allah maha esa lagi maha berkuasa”. Oleh karena itu orang-orang
Islam biasa menamakan anak mereka dengan Abdul Qahir atau Abdul Qahhar, tidak
ada seorangpun yang menamakan anaknya Abdul Jalis atau Abdul Qa'id.
Demikian pula orang yang mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy
dengan ada jarak antara Allah dengan arsy, artinya tanpa menyentuhnya maka
tetap saja dia seorang yang kafir. Karena setiap sesuatu yang berada di atas
sesuatu yang lain pasti berkemungkinan berukuran sama dengan sesuatu tersebut
atau lebih besar atau lebih kecil. Dan segala sesuatu yang menerima ukuran maka
dia adalah makhluk, yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran
tersebut.
Adapun pernyataan sebagian kaum Musyabbihah seperti kaum Wahhabiyah
sekarang bahwa Allah berada di atas arsy yang di atas arsy tersebut tidak ada
tempat pernyataan ini terbantahkan dengan hadits riwayat al-Bukhari, al-Bayhaqi
dan lainnya bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ لَمَا قَضَى الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابٍ فَهُوَ مَوْضُوْعٌ
عِنْدَهُ فَوْقَ العَرْشِ إنَّ رَحْمَتِيْ غَلَبَتْ غَضَبِيْ
"Sesungguhnya Allah ketika menciptakan makhluk menciptakan kitab
(tulisan) yang terletak di atas arsy dan dimuliakan oleh Allah yang berbunyi
sesungguhnya (tanda-tanda) rahmat-Ku lebih banyak dari (tanda-tanda)
murka-Ku" (HR. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan lainnya)
Dan dalam riwayat Ibnu Hibban dengan redaksi:
وَهُوَ مَرْفُوْعٌ فَوْقَ الْعَرْشِ
"Dan dia arsy terangkat (diletakan) di atas arsy".
Dengan demikian hadits ini adalah dalil bahwa di atas arsy terdapat
tempat. Karena bila di atas arsy tidak ada tempat maka tentu Rasulullah tidak
akan mengatakan bahwas kitab tersebut diletakkan di atasnya.
Adapun kata “’Indahu” dalam hadits tersebut adalah dalam makna
“dimuliakan”, karena penggunaan kata “’Inda” mengandung makna untuk memuliakan,
sebagaimana firman Allah tentang orang-orang yang saleh:
وَإنّهُمْ عِنْدَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الأخْيَارِ (ص:
47)
Kata “’Indana…” dalam ayat ini artinya untuk memuliakan bukan untuk
menyatakan bahwa Allah berada pada tempat yang bertetanggaan atau bersampingan
dengan tempat orang-orang saleh tersebut.
Dengan demikian dalam keyakinan kaum Musyabbihah yang menetapkan Allah
bertempat di atas arsy telah menjadikan kitab tersebut di atas sebagai
keserupaan bagi-Nya. Ini artinya sama saja mereka telah mendustakan firman
Allah: “Laysa Kamitslihi Syai’ (Qs. Asy-Syura: 11).
Demikian juga orang yang memahami firman Allah:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي
سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ (الآعراف: 54)
dengan menafsirkan bahwa Allah berada pada arah bawah atau arah bumi
kemudian naik ke arah atas lalu menciptakan langit, kemudian Dia naik ke arsy
lalu bersemayam (bertempat) maka orang ini telah menjadi kafir. Makna ayat yang
benar adalah bahwa Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan bahwa Allah
sebelum menciptakannya telah menguasai arsy. Kata “tsumma” artinya dalam makna
”wa”; maknanya “dan”.
Al-Imam Abu Manshur al-Maturidi berkata: Firman Allah:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
artinya adalah " sungguh Allah telah menguasai arsy "
.
Begitu pula orang yang menafsirkan firman Allah:
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ (البقرة: 115)
diartikan dengan anggota tubuh atau bahwa Dia berada pada arah
bumi maka dia seorang yang kafir. Makna yang benar; Wajhullah adalah Kiblat
Allah, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Mujahid; murid dari sahabat Abdullah
ibn Abbas.
Demikian pula orang yang memahami firman Allah:
كُلُّ شَيءٍ هَالِكٌ إلاّ وَجْهَهْ (القصص: 88)
dengan mengartikan bahwa alam ini adalah sesuatu maka ia akan punah,
begitu pula Allah adalah sesuatu maka Dia akan punah, dan tidak ada sesuatu
yang kekal dari Allah kecuali bagian wajah saja maka orang ini dihukumi kafir.
Pemahaman buruk seperti ini sebagaimana penafsiran seorang Musyabbih yang
bernama Bayan ibn Sam'an at-Tamimi. Adapun makna yang benar dari kata
”Wajhahu..” di atas adalah dalam makna ”kerajaan”, atau dalam makna ”sesuatu
yang bisa mendekatkan diri kepada Allah” sebagaimana takwil ini telah
dinyatakan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Sufyan ats-Tsauri.
Demikian juga orang menafsirkan firman Allah tentang perahu Nabi Nuh:
تَجْرِيْ بأعْيُنِنَا (القمر: 14)
dengan anggota tubuh (mata) maka orang tersebut telah kafir. Adapun
makna yang benar adalah ”memelihara”, artinya bahwa perahu Nabi Nuh tersebut
berjalan dengan ”pemeliharan” dan ”penjagaan” dari Allah sebagaimana hal ini
telah dinyatakan oleh para ahli tafsir.
Demikian pula orang yang memahami firman Allah:
يَدُ اللهِ فَوْقَ أيْدِيْهِمْ (الفتح: 10)
dalam pengertian anggota tubuh maka orang tersebut telah kafir. Makna
yang benar kata ”yad” di sini adalah ”al-’ahd”; artinya ”janji” sebagaimana
telah ditafsirkan oleh para ulama.
Demikian pula orang yang menafsirkan firman Allah:
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (الفجر: 22)
dalam makna bahwa Allah bergerak dan berpindah dari satu tempat ke
tempat yang lain maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar adalah
”datang kekuasaan Allah”, artinya tanda atau pengaruh dari sifat kuasa-Nya,
sebagaimana demikian telah ditafsirkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal
(sebagaimana telah diriwayatkan oleh al-Hafidz al-Baihaqi dengan sanad yang
kuat dari al-Imam Ahmad).
Demikian juga dengan orang yang menafsirkan firman Allah:
أأمِنْتُمْ مَنْ فِي السّمَاءِ أنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ (الملك:
16)
dengan mengatakan bahwa Allah mengambil tempat dilangit maka orang
tersebut telah kafir. Makna yang benar dari maksud ”man fi as-sama’” adalah
”Malaikat”, sebagaimana pemahaman ini telah dinyatakan oleh Syaikh al-Huffadz
al-Imam Zainuddin Abdrrahim al-Iraqi dalam kitab al-Amaliy al-Mishriyah. Dalam
menafsirkan hadits:
ارْحَمُوْا مَنْ فِي الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
”Sayangilah oleh kalian orang yang berada di bumi niscaya kalian akan
disayangi oleh yang berada di langit”, al-Imam al-’Iraqi menafsirkannya dengan
hadits riwayat lain dengan redaksi:
ارْحَمُوْا أهْلَ الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ أهْلُ السّمَاءِ
"Sayangilah oleh kalian penduduk bumi niscaya kalian akan
disayangi oleh penduduk langit", karena hadits yang kedua ini sangat jelas
memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud adalah para Malaikat.
Demikian juga orang yang menafsirkan hadits al-Jariyah as-Sauda yang
terdapat dalam riwayat al-Imam Muslim dengan berkesimpulan bahwa Allah
mengambil tempat di arah atas (berada di langit) maka orang ini telah kafir.
Hadits ini oleh sebagian ulama tidak diambil dengan alasan bahwa hadits
tersebut adalah mutharib (hadits yang memiliki banyak redaksi yang satu sama
lainnya berbeda-beda), karenanya mereka manganggapnya cacat, disamping karena
telah menyalahi dasar keyakinan. Sesungguhnya Rasulullah tidak pernah
menghukumi ke-islam-an seseorang hanya karena mengatakan ”Allah di langit”,
karena kata-kata ini adalah keyakinan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Bagaimana
mungkin kata-kata ”Allah di langit” sebagai tanda bagi keimanan
seseorang?!
Sebagian ulama lainnya menerima hadits ini; namun tidak dipahami dalam
makna zhahirnya, tetapi mereka mentakwilkannya. Bahwa pertanyaan Rasulullah
kepada budak perempuan tersebut adalah dalam makna ”Bagaimana engkau
mengagungkan Allah?”. Dan makna jawaban budak tersebut ”Fi as-Sama’” adalah
dalam pengertian ”sangat tinggi derajat-Nya”. Maka berdasarkan pemahaman dua
pendapat ulama tersebut di atas tidak ada jalan bagi orang-orang Wahhabi untuk
membatah kita.
Begitu juga dengan orang yang menafsirkan hadits Nabi:
يَنْـزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى
السّمَاءِ الدُّنْيَا حِِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرِ يَقُوْلُ مَنْ
يَدْعُوْنِي فأسْتَجِيْبَ لَهُ منْ يَسْألُنِيْ فأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي
فَأَغْفِرَ لَهُ
dengan menafsirkan bahwa Allah bergerak dan turun dari atas ke langit
dunia dan berdiam di sana sampai terbit fajar kemudian setelah itu Dia naik ke
arah arsy maka orang tersebut telah menjadi kafir. Yang sangat mengherankan
dari kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah sekarang, mereka meyakini bahwa
Allah sama besar dengan arsy, lalu mereka mengatakan bahwa Allah turun ke
langit dunia, padahal mereka tahu bahwa besarnya langit dunia dibanding
besarnya arsy seperti setetes air dibanding lautan luas, ini artinya dalam
keyakinan mereka bahwa Allah ketika turun ke langit dunia menjadi sangat kecil,
na’udzu Billah. Ini merupakan bukti nyata akan kebodohan akal mereka. Lalu
dengan pemahaman tersebut mereka juga berarti menetapkan bahwa perbuatan Allah
hanya turun dan naik saja agar bersesesuaian dengan masing-masing sepertiga
akhir malam di setiap bagian bumi ini oleh karena sepertiga akhir malam itu
berbeda–beda satu wilayah dengan lainnya. Ini juga merupakan bukti nyata akan
kebodohan akal mereka.
Makna yangbenar dari hadits tersebut adalah bahwa Malaikat turun dengan
perintah Allah ke langit dunia, hingga ketika datang sepertiga akhir malam maka
mereka menyeru bagi penduduk bumi sesuai apa yang diperintahkan oleh Allah
sehingga terbit fajar: “Sesungguhnya Tuhan kalian berkata: Barangsiapa yang
meminta kepada-Ku maka akan Aku beri ia, barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku
maka akan Aku kabulkan baginya, barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka
akan Aku ampuni ia”. Pemahaman ini sebagaimana terdapat dalam riwayat al-Imam
an-Nasa-i dengan riwayat shahih bahwa Rasulullah bersabda:
إنَّ اللهَ يُمْهِلُ حَتَّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوَّلُ
فَيأْمُرُ مُنَادِيًا فَيُنَادِيْ ....
“Sesungguhnya Allah membiarkan malam berlalu hingga lewat
separuh malam pertama, setelah itu lalu Allah memerintahkan kepada malaikat
untuk menyeru (bagi penduduk bumi), maka ia berseru:…..”.
Kemudian dari pada itu sebagian para perawi al-Imam Bukhari telah
memberi harakat “Dlammah” pada kata “Yanzilu..” menjadi “Yunzilu…”, dengan
demikian maknanya semakin jelas bahwa yang turun ke langit dunia tersebut
adalah adalah malaikat; dengan perintah Allah. Kesimpulannya, siapapun yang menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya, walaupun hanya dengan satu sifat saja, maka dia
digolongkan sebagai Musyabbih Mujassim, dan sesuangguhnya seorang Mujassim itu
seorang yang kafir sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’i.
Adapun makna perkataan al-Imam ar-Rifa’i tersebut di atas adalah bahwa
berpegangteguh dengan makna-makna zhahir dari teks-teks mutasyabihat, baik yang
terdapat dalam al-Qur’an maupun hadits, maka hal itu telah menjatuhkan banyak
orang dalam kekufuran, karena hal itu telah menjatuhkan mereka dalam keyakinan
tasybih.
Al-Imam Ahmad ar-Rifa’i juga berkata:
غَايَةُ الْمَعْرِفَةِ بِاللهِ الإيْقَانُ بِوُجُوْدِهِ تَعَالَى بِلاَ
كَيْفٍ وَلاَ مَكَانٍ
“Puncak pengetahuan seseorang itu kepada Allah adalah dengan
berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa sifat benda dan tanpa tempat“.
Maksudnya adalah bahwa puncak yang dapat diraih oleh seorang hamba
untuk mengenal Allah adalah meyakini keberadaan-Nya tanpa mensifati-Nya dengan
sifat-sifat benda, dan meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.
Sesungguhnya ini inilah puncak pengetahuan (ma’rifah) kepada Allah dari para
Nabi dan para Malaikat, serta para wali Allah. Karena mengenal (ma’rifah Allah)
Allah bukan dengan cara membayangkan, bukan dengan cara memprakirakan, dan juga
bukan dengan cara menyerupakan-Nya. Allah bukan benda dan Allah juga tidak
dapat diperumpamakan oleh gambaran dan pikiran manusia. Sesuatu yang memiliki
bentuk dan ukuran maka pasti bisa digambarkan oleh akal pikiran, sementara
Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran maka Dia tidak dapat
digambarkan oleh akal pikiran manusia. Mengenal Allah cukup dengan meyakini-Nya
bahwa Dia Maha ada, tidak dengan membayangkan-Nya berada pada arah tertentu;
seperti arah atas.
Jika orang Wahabiy mengatakan: “Sesuatu yang ada itu harus memiliki
arah dan tempat, bagaimana kalian mengatakan bahwa Allah ada tanpa arah dan
tempat?!”, kita katakan kepadanya bahwa jika Allah memiliki arah dan tempat
niscaya Dia akan mempunyai banyak keserupaan, juga jika Dia memiliki arah maka
berarti ada yang menjadikan-Nya pada arah tersebut, padahal setiap yang
”dijadikan” itu pastilah dia itu makhluk, bukan Tuhan. Demikian inilah makna
yang dimaksud dari perkataan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i di atas, dan beliau adalah
seorang yang sangat mendalam dalam ilmu akidah, beliau telah mengungkapkan
perkataannya tersebut dalam kitab “Halatu Ahl al-Haqiqah Ma’a Allah “ .
Sebagian ulama berkata:
عَلَيْكَ بِطُوْلِ الصَّمْتِ يَا صَاحِبَ الْحِجَا
لِتَسْلَمَ فِي الدُّنْيَا وَيَوْم القِبَامَة
“Hendaklah anda memperpanjang diam wahai orang yang punya akal,
agar selamat di dunia dan akhirat / kiamat.”
Perkataan ini diambil dari sabda Rasulullah kepada Abu Dzar:
عَلَيْكَ بِطُوْلِ الصَّمْتِ إلاّ مِنْ خَيْرٍ فَإنّهُ مَطْرَدَةٌ
لِلشّيْطَانِ عَنْكَ وَعَوْنٌ لَكَ عَلَى أمْرِ دِيْنِكَ (رواه ابن حبان)
“Hendaklah kamu memperpanjang diam kecuali kepada hal yang baik,
karena demikian itu dapat megalahkan syaitan dan menolong kamu dalam urusan
agamamu “ (HR. Ibnu Hibban).
Seorang yang memiliki akal cerdas adalah orang yang selalu menghadirkan
makna firman Allah:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إلاّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ (ق: 18)
“Tidaklah seseorang itu berucap dari sebuah perkataan kecuali
dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid“ (QS. Qaf: 18). Dia tidak akan berkata-kata
kecuali bila ada manfaatnya.
Wa Allah A’lam Bi Ash-Shawab
Wa Ilaih at-Tuklan Wa al-Ma’ab.
القرأن حجة لنا
Membaca Al-Quran secara rutin tiap hari dengan metode: ”فَمِي بِشَوْقٍ“ Setiap huruf yang tersebut menjadi simbol dari awal surat yang dibaca. Maka: - Huruf “fa`” adalah simbol dari surat “al-fatihah”. - Huruf “mim” maksudnya dimulai dari surah al-maidah. - Huruf “ya`” maksudnya dimulai dari surah Yunus. - Huruf ”ba`” maksudnya dimulai dari surah Bani Israil yang juga dinamakan surah al-isra`. - Huruf “syin” maksudnya dimulai dari surah asy-syu’ara`. - Huruf “waw” maksudnya dimulai dari surah wash shaffat. - Huruf “qaaf” maksudnya dimulai dari surah qaf hingga akhir mushaf yaitu surah an-nas. Channel
murajaah
Literature Review
fikih
(184)
Tasawwuf
(122)
Local Wisdom
(59)
hadis
(51)
Tauhid
(45)
Ilmu Hadis
(28)
Bahasa Arab
(25)
Kebangsaan
(23)
Moderasi Beragama
(22)
Biografi
(20)
Tafsir
(20)
Al Quran
(19)
ilmu tafsir
(2)
Dendam
Total Tayangan Halaman
HEAD
kongko bareng emte
- s.id/mtaufiqh
- belajar sepanjang hayat, santri berbahasa Arab dan Inggris dari Sukabumi Jawa Barat yang meretas dunia tanpa batas