-->

MUKJIZAT AL QUR AN

Al-Quran, apabila dikaji maka akan terungkap hal-hal baru yang sama sekali belum diketahui manusia karena itu, al-Quran sendiri membuka dirinya untuk dibedah. Seorang mufassir yang mendaras dan megkaji al-Quran lebih dalam pasti dia menemukan hal yang baru karena, al-Quran sendiri adalah lautan ilmu dan ilmu dari segala ilmu. Hal ini bisa lihat dari karangan mufasir awal (zaman Rasulullah) mulai dari Rasulullah sendiri kemudian para sahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan banayak lagi. Dari kalangan tabi’in kemudian tabiut tabi’in higga sampai kepada ulama kontemporer saat ini misalnya, Sayyid Thantawi, syaikh Wahbah az-Zuhaili, Prof. Dr. Quraish Shihab, dyl. Beragam tafsir pun diciptakan dari mulai tafsir birriwayah kemudian tafsir birra’yi, tafsir isyari, ada pula tafsir yang menjelaskan husus masalah ilmu pengatahuan seperti fisika, biologi, geografi dan masih banyak lagi motif–motif tafsir lainnya.
Lokasi Percetakan al-Quran terbesar di Dunia
Hal ini membuktikan bahwa al-Quran itu merupakan kitab suci yang tidak akan habis ditelan zaman, yang membuat penafsiran itu berbeda di antaranya adalah ilmu pengetahuan yang sampai kepadanya dan kerangka berpikir para mufasir yang berbeda zaman. Ketidaksesuaian tafsir masa lampau dengan “konteks kekinian” akan nampak terjadi oleh karena demikian, kita jangan terpusat atau identik bahkan fanatik dengan satu pendapat mufassir yang hidup dahulu tanpa adanya klarifikasi, agar al-Quran dapat ditafsirkan secara berkembang dan relevan dengan ranah sosial dan budaya kita saat ini, tentunya dengan syarat yang ketat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir.

Diantara syarat-syaratnya menjadi mufassir adalah:

1. Akidah yang benar. Syarat yang pertama ini adalah adalah syarat yang paling penting kerana akidah memainkan peranan yang besar kepada setiap mufassir dan menjadi faktor pendorong kepada seseorang mufassir untuk melakukan penyelewengan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan juga penipuan dalam periwayatan. Mereka juga mudah terdorong kepada mazhab-mazhab yang menyeleweng dengan mengemukakan pentakwilan yang bertentangan dengan akidah yang benar.
2. Bersih daripada hawa nafsu kerana ia akan mendorong dirinya membela dan menegakkan kepentingan dan keperluan mazhabnya semata-mata sehingga ia berupaya menipu manusia lain dengan ucapan-ucapan lembut dan keterangan-keterangan yang menarik minat seseorang seperti yang dilakukan oleh golongan yang menyeleweng daripada ajaran Islam.
3. Mendahulukan tafsir Al-Qur’an dengan al-Qur’an itu sendiri, di mana perkara yang diterangkan secara ringkas di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain.
Selain harus menguasai ilmu-ilmu di atas, seorang mufassir harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam menafsirkan Al-Quran. Imam Jalaluddin As-Suyuthy mengatakan, “Siapa yang ingin menafsirkan Al-Quran yang mulia maka pertama kali ia harus mencari tafsirnya dari Al-Quran. Ayat yang bermakna global pada suatu tempat ditafsirkan dengan ayat pada tempat lain dan ayat yang ringkas pada suatu tempat diperluas penjelasannya dengan ayat pada tempat lainnya. Apabila tidak menemukannya, maka ia harus mencarinya dari As-Sunnah kerana (As-Sunnah) merupakan penjelasan bagi Al-Quran. Apabila tidak menemukannya dari As-Sunnah, maka ia harus mengembalikannya kepada pendapat para sahabat kerana mereka lebih mengetahui penafsiran Al-Quran. Sebab, merekalah yang menyaksikan konteks dan situasi pada saat turunnya ayat. Selain itu, mereka juga diberi pengkhususan pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Ketika terjadi pertentangan antara pendapat para sahabat, maka harus dikembalikan kepada pendapat yang paling kuat dalilnya. Misalnya perbezaan pendapat mereka mengenai makna huruf-huruf hijâ’iyah, maka harus dikembalikan pada pendapat orang yang mengatakan, ‘Maknanya adalah qasam (sumpah)’.” Manhaj (metod) seperti yang dikemukakan oleh Imam As-Suyuthy di atas di kalangan para ulama dikenal dengan istilah tafsir bil ma’tsur. Manhaj ini yang pertama kali harus ditempuh oleh seorang mufassir sebelum ia menafsirkan dengan ra’y batas yang diperbolehkan. Manhaj tafsir bil ma’tsur tersebut akan dijelaskan lebih lanjut. Ayat Al-Quran lazimnya disebutkan secara umum dan ditafsirkan secara terperinci pada ayat lain. Demikian juga, ayat yang ringkas ditafsirkan secara luas pada ayat lain. Contoh penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran adalah firman Allah ta‘ala dalam surat Al-Fatihah: 6-7.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Orang-orang yang dianugerahi nikmat kepada mereka ditafsirkan dengan firman Allah ta‘ala,
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa’: 69)
Contoh lainnya adalah firman Allah,
فَتَلَقَّى ءَادَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 37)
Beberapa kalimat dalam ayat ini ditafsirkan dalam ayat lainnya, yaitu firman Allah ta‘ala,
Penafsiran ini diriwayatkan dari banyak mufassir dari kalangan tabi‘in.
4. Mentafsirkan Al-Qur’an dengan al-Sunnah karena al-Sunnah adalah penjelasan daripada al-Qur’an. Sunnah Nabawiyah berfungsi untuk mensyarah Al-Quran, menjelaskan yang mujmal (umum), memuqayyadkan yang mutlak, mengkhususkan yang umum, menerangkan yang mubham (tidak dierti), mentafsirkan yang musykil (rumit), mendetilkan yang ringkas, menyingkap bahagian yang samar, dan memperlihatkan maksudnya. Demikian juga, Sunnah Nabawiyah datang dengan hukum-hukum yang tidak terdapat dan tidak ditentukan dalam Kitabullah. Sunnah Nabawiyah tidak keluar dari kaedah, pokok, maksud, dan tujuan Kitabullah. Tidak mungkin mencampakkan Sunnah Nabawiyah dan tidak boleh pula meremehkannya dalam apa keadaan pun. Hal itu kerana dalam memahami agama Allah, menafsirkan Kitab-Nya, dan mengamalkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil perkataan Imam Asy-Syafi‘i, “Setiap hukum yang diputuskan oleh Rasulullah s.a.w berasal dari pemahamannya terhadap Al-Quran. Allah ta‘ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللهُ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” (An-Nisa’: 105)
Contoh penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah di antaranya adalah tafsir al-maghdhub ‘alaihim (mereka yang dimurkai) dengan Yahudi dan adh-dhâllîn (mereka yang sesat) dengan Nasrani dalam surat Al-Fatihah. Ahmad, At-Tirmizi, dan Ibnu Hiban dalam Shahihnya meriwayatkan dari ‘Ady bin Hatim, dia berkata: Rasulullah s.a.w bersabda, “Sesungguhnya mereka yang dimurkai adalah Yahudi dan mereka yang sesat adalah Nasrani.”
Tafsir ini diperkuatkan dengan firman Allah ta‘ala,
قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللهِ مَنْ لَعَنَهُ اللهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
“Katakanlah, ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?’ Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” (Al-Maidah: 60)
Yang dimaksudkan dengan mereka adalah Yahudi. Demikian juga firman Allah ta‘ala,
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
“Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus’.” (Al-Maidah: 77)
Nabi s.a.w menjadikan Yahudi sebagai contoh terhadap setiap orang yang rosak iradah (kemahuan)nya. Mereka mengetahui kebenaran, namun menyimpang darinya. Nabi s.a.w menjadikan Nasrani sebagai contoh terhadap setiap orang yang tidak memiliki ilmu dan ingin meraih kebenaran. Mereka kebingungan dalam kesesatan dan tidak mendapatkan petunjuk menuju kebenaran.
Contoh lainnya adalah tafsir azh-zhulmu (kezaliman) dalam firman Allah ta‘ala,
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An‘am: 82)
Ahmad, Bukhari, Muslim, dan perawi lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, ia berkata, “Tatkala turun ayat ini, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman’, para sahabat merasa keberatan. Mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya?’ Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya artinya bukanlah yang kalian maksudkan. Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba shalih (Luqman), ‘Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar’. Sesungguhnya kezaliman (yang dimaksud dalam ayat itu) adalah syirik.”

5. Jika tidak terdapat tafsiran Al-Qur’an dari Al-Sunnah, maka hendaklah dirujuk kepada pandangan para sahabat karena mereka lebih memahami perkara tersebut disebabkan mereka telah menyaksikan penurunan wahyu dan latar belakangnya.
Abu Abdurrahman As-Salma, seorang tabi’in yang mulia, meriwayatkan dari para senior penghafaz Al-Quran dari sahabat Rasulullah s.a.w bahwa apabila turun kepada mereka sepuluh ayat, mereka tidak langsung melaluinya hingga mengetahui ilmu dan amal yang terdapat di dalamnya. Mereka mengatakan, “Kami mempelajari Al-Quran, ilmu, dan amal secara keseluruhan.”
Diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas‘ud, bahwa ia berkata, “Barangsiapa di antara kalian ingin meneladani seseorang, maka hendaknya ia meneladani para sahabat Rasulullah s.a.w. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang paling bersih hatinya di kalangan umat ini, paling mendalam ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya s.a.w dan menegakkan din-Nya. Kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah atsar mereka.”
Para sahabat menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, lalu dengan As-Sunnah. Apabila tidak mendapatkan tafsir dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah s.a.w, mereka melakukan ijtihad karena mereka adalah orang Arab tulen, menyaksikan turunnya Al-Quran, dan menghadiri majlis-majlis Rasulullah s.a.w, sementara Al-Quran turun dengan bahasa Arab yang jelas. Kita mengambil tafsir sahabat dan lebih mengiutamakannya daripada tafsir generasi sesudahnya kerana pada diri mereka penuh dengan semangat untuk melakukan ijtihad sebagai berikut:
Pertama, mereka mengetahui maksud dan rahsia bahasa Arab. Hal ini membantu mereka untuk mengetahui ayat-ayat yang pemahamannya berkaitan dengan pemahaman bahasa Arab.
Kedua, mereka mengetahui adat dan budaya bangsa Arab. Hal ini membantu mereka untuk memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan adat dan perilaku mereka, seperti firman Allah ta’ala, (إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ) “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran” (At-Taubah: 37) dan ( وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا) “Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya” (Al-Baqarah: 189). Ayat seperti ini hanya dapat difahami oleh orang yang mengetahui adat Arab pada masa jahiliyah.
Ketiga, mereka mengetahui keadaan yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab pada saat turunnya Al-Quran Al-Karim. Hal ini membantu mereka untuk mengetahui ayat-ayat yang membicarakan Yahudi dan Nasrani, perkara-perkara yang mereka (Yahudi dan Nasrani) lakukan, dan bagaimana mereka memusuhi kaum Muslimin.
Keempat, mereka mengetahui asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) kerana mereka menyaksikan turunnya ayat dan ikut terlibat dalam berbagai peristiwa yang disebutkan Al-Quran. Pengetahuan mengenai hal itu membantu mereka untuk memahami banyak ayat. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullah ta‘ala mengatakan, ‘Mengetahui asbab an-nuzul dapat membantu untuk memahami suatu ayat karena pengetahuan terhadap sebab akan melahirkan pengetahuan terhadap musabab.
Kelima, mereka memiliki kekuatan dalam pemahaman dan pengetahuan. Allah telah menganugerahkan kepada mereka akal dan pemahaman yang dengannya mereka dapat melihat banyak faktor secara jelas. Ini merupakan perkara yang sudah maklum dari sejarah perjalanan hidup para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dengan faktor-faktor tersebut, para sahabat banyak memahami ayat Al-Quran Al-Karim yang tidak terdapat tafsirnya dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

6. Merujuk kepada pendapat tabi`in jika tidak terdapat tafsiran para sahabat dengan syarat terdapat pada riwayat yang sahih.
Mengambil pendapat para kibar (senior) tabi’in, seperti Mujahid, Ibnu Jabr, Sa‘id Ibnu Jubair, ‘Ikrimah dan ‘Atha’ bin Abi Ribah, Al-Hasan Al-Bashry, Masruq bin Al-Ajda’, Sa‘id bin Musayyib, dan sebagainya yang mempelajari langsung semua tafsir dari para sahabat ridhwanullah ‘alaihim.
Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai hukum mengambil tafsir yang dinukilkan dari tabi‘in. Pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama menyatakan bahwa tafsir tabi‘in termasuk tafsir bil ma’tsur karena secara umum mereka mempelajarinya dari sahabat.
Al-Hafizh Ibnu Rajab menyatakan bahwa ilmu yang paling utama dalam tafsir adalah atsar dari sahabat dan tabi‘in. Ia mengatakan, “Ilmu paling utama dalam tafsir Al-Quran, makna hadits, serta pembicaraan mengenai yang halal dan yang haram adalah atsar yang berasal dari sahabat, tabi‘in, dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga berakhir pada zaman para imam Islam yang terkenal dan diteladani.”
Setelah menggunakan manhaj tafsir bil ma’tsur terlebih dahulu, barulah seorang mufassir dibolehkan menggunakan ra’ynya dalam menafsirkan Al-Quran dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan dan kaedah-kaedah tafsir. Sebab, menurut Syaikh Muhammad Al-Ghazali, tafsir bil ma’tsûr akan berhenti pada makna-makna, pemahaman yang disampaikan oleh riwayat-riwayat yang ada. Sementara itu, tafsir bir ra’yi –yang sesuai dengan kaedah itulah yang berpotensi untuk terus berkembang dan tidak berhenti. Kerana tafsir yang demikian yang terus berinteraksi dengan masalah-masalah sastera, kalam, bahasa, hukum, dan permasalahan kehidupan lainnya.
Oleh kerana itu, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi kemudian menawarkan cirri-ciri tafsir ideal yang diharapkan sesuai dengan kaedah yang diakui para ulama dan pada saat yang sama dapat mengiringi rentak perkembangan zaman. Ciri-ciri tafsir ideal tersebut secara ringkas adalah seperti berikut:
Pertama, menggabungkan antara riwayah dan dirayah.
Kedua, menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran.
Ketiga, mentafsirkan Al-Quran dengan sunnah yang shahih.
Keempat, memanfaatkan tafsir sahabat dan tabi‘in.
Kelima, mengambil kemutlakan bahasa Arab.
Keenam, memperhatikan konteks ayat.
Ketujuh, memperhatikan asbab an-nuzul.
Kelapan, meletakkan Al-Quran sebagai rujukan utama.
7. Mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidang bahasa arab dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pentafsiran, ayat-ayat Al-Qur’an berkaitan erat dengan i`rab perkataan dan tatabahasa. Oleh itu ilmu pengetahuan yang sedikit tidak dapat membantu seseorang mentafsir Al-Qur’an dengan baik. Mujahid bin Jabr berkata:”Tidak wajar bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat memperkatakan mengenai kitab Allah sedangkan dia tidak mengetahui dialek-dialek bahasa Arab.
Syarat yang berkaitan dengan aspek pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang mufassir ini dibahagi kepada dua, iaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat manhajiyah (berkaitan dengan metod). Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran menyebut lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir. Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bahasa Arab kerana dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosa kata suatu lafaz dan maksudnya sesuai dengan objek.
Oleh kerana demikian pentingnya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Mujahid mengatakan,
لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغات العرب‏.
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitabullah apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab.”
2. Nahwu kerana suatu makna boleh saja akan berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbezaan i’rabnya.
3. Tashrif (sharaf) kerana dengannya dapat diketahui bina’ (struktur) dan shighah suatu kata.
4. Isytiqaq kerana suatu nama apabila isytiqaqnya berasal dari dua subjek yang berbeza, maka ertinya pun juga pasti berbeza. Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح‏).
5. Al-Ma‘ani karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
6. Al-Bayan karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkib (karangan) suatu kalimat dari segi perbezaannya sesuai dengan jelas atau tidaknya suatu makna.
7. Al-Badi‘ kerana dengannya dapat diketahui pengkhususan tarkib (karangan) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.
Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sensitiviti terhadap keindahan bahasa (i‘jaz) Al-Quran.
8. Ilmu qira’ah kerana dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran model bacaan yang disampaikan antara satu qari’ dengan qari’ lainnya.
9. Usuluddin (prinsip-prinsip agama) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara teksl menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli usul berperanan untuk mentakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
10. Usul fiqh kerana dengannya dapat diketahui wajh al-istidlal (penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbath.
11. Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) kerana dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
12. An-Nasikh wa al-Mansukh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
13. Fiqh.
14. Hadis-hadis untuk mentafsirkan yang mujmal (umum) dan mubham (tidak diketahui).
15. Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.
Dalam sebuah hadits disebutkan,
من عمل بما علم ورثه الله علم ما لم يعلم
“Siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menganugerahkannya ilmu yang belum ia ketahui.”
Ibnu Abid Dunya mengatakan, “Ilmu Al-Quran dan istinbath darinya merupakan lautan yang tidak bertepi.”
Ilmu-ilmu di atas merupakan alat bagi seorang mufassir. Seseorang tidak memiliki autoriti untuk menjadi mufassir kecuali dengan menguasai ilmu-ilmu ini. Siapa saja yang mentafsirkan Al-Quran tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut, bererti ia mentafsirkan dengan ra’y (akal) yang dilarang. Namun apabila mentafsirkan dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka ia tidak mentafsirkan dengan ra’y (akal) yang dilarang.
8. Mempunyai pengetahuan pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an:
a. Ilmu Qiraat kerana dengannya seseorang itu dapat mengetahui cara-cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur’an dan dapat pula memilih bacaan yang lebih kuat di antara berbagai ragam bacaan yang ada, malah qiraat juga dapat memastikan maksud yang sebenarnya apabila terjadi perselisihan.
b. Mendalami ilmu Usuluddin dan ilmu tauhid karena dengannya seseorang
mufassir diharapkan dapat mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ketuhanan dan hak-hak Allah dengan betul serta tidak mentakwilkannya dengan sewenang-wenangnya atau melampaui batasan.

c. Berpengetahuan dalam Usul Fiqh karena ia dapat membantu mufassir bagaimana hendak membuat kesimpualan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan berdalil dengannya. Begitu juga mengenai ayat-ayat mujmal dan mubayyan, umum dan khusus, mutlak dan muqayyad, amar dan nahy dan perkara-perkara yang berkaitan.
d. Berpengetahuan yang luas dalam bidang pokok-pokok ilmu tafsir dapat membantu memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan betul dan mendalam. Contohnya Asbab al-Nuzul akan menolong mufassir dalam memahami maksud ayat berdasarkan latar belakang penurunan ayat. Begitu pula dengan An-Nasikh dan Al-Mansukh serta ilmu-ilmu yang lainnya.
9. Memiliki ketelitian dan kecermatan dalam pemahaman, sehingga dengannya mufassir boleh membezakan antara pendapat-pendapat yang saling berdekatan, kerananya mufassir tersebut dapat mengambil kesimpulan hukum yang sesuai dengan nas-nas syariat.
Mentafsirkan Al-Quran tanpa landasan ilmu merupakan dosa besar yang sangat berat ancamannya. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa yang berkata tentang Al-Quran tanpa landasan ilmu hendaknya ia menempati posisinya di neraka.” (HR At-Tirmidzi [2874])
Orang yang memenuhi syarat-syarat mufassir dibolehkan untuk menafsirkan Al-Quran sesuai dengan kaedah dan peraturan yang ditetepkan. Akan tetapi jika seseorang tidak dapat mencapai kriteria syarat-syarat mufassir, maka sikap yang mesti diambil adalah mengikuti penafsiran para ulama yang kompeten dalam bidang ini.

LihatTutupKomentar

القرأن حجة لنا


Membaca Al-Quran secara rutin tiap hari dengan metode: ”فَمِي بِشَوْقٍ“ Setiap huruf yang tersebut menjadi simbol dari awal surat yang dibaca. Maka: - Huruf “fa`” adalah simbol dari surat “al-fatihah”. - Huruf “mim” maksudnya dimulai dari surah al-maidah. - Huruf “ya`” maksudnya dimulai dari surah Yunus. - Huruf ”ba`” maksudnya dimulai dari surah Bani Israil yang juga dinamakan surah al-isra`. - Huruf “syin” maksudnya dimulai dari surah asy-syu’ara`. - Huruf “waw” maksudnya dimulai dari surah wash shaffat. - Huruf “qaaf” maksudnya dimulai dari surah qaf hingga akhir mushaf yaitu surah an-nas. Channel

murajaah

Literature Review

fikih (184) Tasawwuf (122) Local Wisdom (59) hadis (51) Tauhid (45) Ilmu Hadis (28) Bahasa Arab (25) Kebangsaan (23) Moderasi Beragama (22) Biografi (20) Tafsir (20) Al Quran (19) ilmu tafsir (2)

Dendam

Total Tayangan Halaman

HEAD

kongko bareng emte

Foto saya
belajar sepanjang hayat, santri berbahasa Arab dan Inggris dari Sukabumi Jawa Barat yang meretas dunia tanpa batas